🐈‍⬛33. Airlangga atau Erlangga?🐈‍⬛

806 194 48
                                    

Hai, Deers. Makin kesini aku kelabakan nulis cerita ini. Kenawhy? Pertama, karena walau tonenya ringan, risetnya suseh. Kedua, masukin riset ke plot itu juga nguras keringat. Dua hari aku bikin satu bab ini. Ketiga, karena ngalami revisi mayor Peony yang ehmm banget, sebisa mungkin aku nggak ngulangin kesalahan yang sama. Jadi, kasih donasi dulu buat yang nulis. Vote dan komen banyak-banyak itu merupakan kebahagiaan kami para othor *plakk ujung2nya nodong voment kan?? Piss✌
Btw, selamat membaca.

❤❤❤

Sekar sengaja berangkat lebih dahulu ke lereng Gunung Penanggungan, tempat mereka akan membangun ibukota baru mengingat bahwa Kota Watan telah hancur. Ide Sekar karena pengetahuan sejarahnya itu diterima dengan pertimbangan bahwa krisis kepercayaan rakyat terhadap Medang bisa menjadi penghambat pembangunan ibu kota di Kota Watan.

Setelah tiga hari menempuh perjalanan, mereka tiba di lembah datar lereng Gunung Penanggungan. Mereka langsung mendatangi rumah peristirahatan keluarga kerajaan Medang bila ingin berburu di gunung atau ingin melakukan tapa brata. Tentu saja rumah itu layaknya keraton kecil dengan dinding bata merah dan pintu kayu jati ukiran yang pasti sangat mahal.

Sudah satu minggu Sekar berada di situ. Walau dia tidur di dipan dengan kasur bulu angsa yang empuk tapi gadis itu tak bisa nyenyak tidur karena menanti kabar Angga. Selama sepuluh hari dia dan Angga berpisah, Sekar selalu bermimpi buruk.

Beberapa kali dia berdecak saat duduk di balai-balai di serambi depan rumah. Raut gelisah tak mampu dihapus dari wajahnya.

"Putri, silakan diminum ramuan ini." Cempluk menyodorkan ramuan kunyit asam yang akan meredakan nyeri haidnya. Hormon bulanan membuat suasana hatinya tak menentu.

Sekar menerima gelas bambu itu dan menatapnya cairan oranye yang pekat itu. Dia mendesah lagi.

"Mbok, belum ada kabar dari Pangeran?" Pertanyaan itu sudah ia lontarkan hampir dua puluh kali sepanjang pagi itu.

Derik balai-balai terdengar saat emban setia yang bertubuh gempal itu duduk menyandinginya. Wanita berwajah bulat itu tersenyum. "Putri, Pangeran akan baik-baik saja. Putri harus menguatkan diri karena akan sering ditinggal untuk berperang. Kerajaan Medang yang pernah berjaya, tidak lepas dari perjuangan Paduka Raja Dharmawangsa Teguh melebarkan sayap ke seluruh daerah."

Sekar mengangguk mengerti. Namun, pikirannya tetap sekeruh cairan dalam gelas yang hanya ia genggam.

"Monggo diunjuk (Diminum), Putri." Cempluk mengingatkan sekali lagi.

Sekar hanya memgembuskan napas panjang. Akhirnya dia menenggak jamu yang dibuatkan oleh Cempluk berharap cairan itu bisa menggelontorkan rasa cemasnya.

Sekar mengusap bibir atas yang basah dengan lengannya. Seolah ia ingin juga menghapus gundah. Ya, ia paham kalau di dalam sejarah perang pertama ini, Medang akan mengalami kekalahan. Dan perang ini sekarang terjadi akibat kecerobohannya. 

Apakah Angga selamat? Sungguh Sekar sangat khawatir karena daya ingatnya yang tak tajam, dia bisa jadi menuntun Angga ke lubang kuburnya. 

Sekar menggeleng. Dia menepis pikiran buruknya dan berharap Angga yang kembali adalah Angga yang jiwanya dari masa depan.

Namun, saat gadis itu sedang dirundung kecemasan, suara abdi setia Airlangga terdengar dari arah hutan.

"Putri, Putri!" Tomblok berlari tergesa. Perut besarnya naik turun seirama gerakan larinya.

Sekar menoleh. Dia berdiri begitu saja menyambut Tomblok. "Ada apa, Mblok?"

"Hamba tadi ke arah gunung untuk berburu. Dari tempat tinggi hamba melihat rombongan berkuda." Napas Tomblok tersengal kala menceritakan kabar itu. "Pasti Pangeran pulang!" 

A Whole New World (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang