09

56.1K 3.7K 82
                                    

Operasi tidak bisa di lakukan kalau ibu Dean tidak sadar, pihak rumah sakit tidak mau mengambil resiko.

Berhari-hari Dean menunggu ibunya, Dean bahkan absen dari sekolah dan pihak sekolah memaklumi hal itu saat tau ibu Dean tengah koma sekarang.

Setelah satu minggu lamanya, akhirnya ibu Dean sadar.

Dean menceritakan apa yang sudah terjadi saat ibunya mulai bisa duduk dan bicara.

"Kenapa mamah tidak bercerita ?" Tanya Dean.

Ibu Dean mengelengkan kepalanya.
"Mamah tidak mau kamu khawatir sayang, kalau memang ini jalan mamah.. mamah mau pergi dengan ten-"

"Mamah harus sembuh!" Dean memotong kata-kata ibunya.

"Dean.."

"Apapun yang terjadi! Berapa pun biayanya! Jangan khawatirkan semua itu!" Dean menatap ibunya dengan air mata yang mulai berjatuhan membasahi pipi Dean.

"Dean akan mencari uang itu mah! Bukan kah kita sudah berjanji akan menjalani kehidupan ini bersama ?! Dean bahkan belum membuat mamah bahagia!"

Air mata ibu Dean ikut berjatuhan, dia tak kuasa menahan kesedihannya.

"Mamah dengar kan ? Serahkan semuanya pada ku.. pada putra mamah" Dean mengusap air mata ibunya.

"Hm," ibu Dean mengangguk pelan.

Hari berganti minggu.
Bulan berganti tahun, ibu Dean sudah berkali-kali menjalani operasi dan kemo untuk menyembuhkan dirinya.

Rambutnya rontok, tubuhnya kurus dan kemampuan geraknya pun mulai terlihat lemah.

Sesuai permintaan Dean, Johan membayar semua biaya rumah sakit ibu Dean.

Dan Dean pun menjual tubuhnya untuk semua itu, Dean tidak memikirkan rasa lelah di tubuhnya yang dia pikirkan hanya kesembuhan ibunya.

Sebelum operasi kelima ibu Dean, Johan berkunjung membawa bunga juga buah bersama Tania.

Dean meminta Johan menemani ibunya sementara waktu karena dia ada UAS.

Tok.
Tok.

Ibu Dean menoleh saat pintu ruangannya di ketok.
"Masuk" katanya pelan.

Johan masuk bersama Tania.
"Permisi" kata Tania dengan suara lucunya.

Melihat Tania, ibu Dean tersenyum.
"Apa dia putri mu ?" Tanya ibu Dean.

"Hm, dia putri ku.. ucapkan salam sayang" Johan menyentuh lembut pucuk kepala Tania.

"Selamat siang, aku Tania" Tania menunduk singkat.

"Selamat siang nak, wah kamu pintar sekali.. mengingatkan ku pada Dean saat masih kecil"

"Eh! Kak Dean?!" Mendengar nama Dean, Tania terlihat sangat bersemangat.

"Hm, Dean putra ku"

"Um,. " Tania melihat ayahnya.

".. boleh aku naik ?" Tanya Tania malu-malu sembari menepuk-nepuk ranjang dimana ibu Dean duduk di atasnya.

"Tidak boleh ya, mamahnya Dean lagi sakit.. jadi perlu istirahat" jelas Johan.

"Tidak apa-apa.. ayo naik kemari" ibu Dean menepuk-nepuk sisi kirinya menyuruh Tania naik.

Tania menatap ayahnya meminta ijin, Johan hanya tersenyum lalu mengangkat tubuh Tania untuk duduk di sisi kiri ibu Dean.

"Ah, kamu anak yang cantik dan pintar" ibu Dean mengusap lembut pucuk kepala Tania yang membuat Tania tertawa pelan.

Saat ibu Dean menarik tangannya, perhatian Tania teralih kearah kepala ibu Dean.

"Kenapa di tutup ? Nanti rambutnya tidak cantik" kata Tania menunjuk kepala ibu Dean.

Ibu Dean tersenyum.
"Karena tidak ada rambutnya makanya di tutup"

"Eh! Rambutnya hilang ?!" Wajah Tania terlihat syok.

"Hm, tapi semoga nanti dengan cepat tumbuh ya"

Tania langsung mengangguk.
"Hm! Hm! Rambut cepatlah tumbuh~"

"Terima kasih" ibu Dean tersenyum.

Tania terus bicara dengan ibu Dean sampai akhirnya dia tertidur di dekat ibu Dean.

"Putri mu sangat aktif dan ceria" kata ibu Dean sembari mengusap lembut rambut Tania.

"Ya, dia sangat aktif bicara seperti ibunya" jawab Johan.

"Kalian keluarga yang beruntung"

Mendengar kata-kata ibu Dean, Johan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.

"Tidak, kami orang tua yang gagal.. kami memutuskan berpisah setelah berdebat tentang banyak hal"

Ibu Dean cukup terkejut saat tau hal itu.

"Ah, maafkan aku .. aku tidak tau"

Johan tersenyum kecil.
"Tidak apa-apa, aku dan Tania bahagia hidup seperti ini.. jadi jangan merasa menyesal"

Ibu Dean ikut tersenyum.
"Kamu ayah yang baik,." Ibu Dean menatap wajah tidur Tania.

".. saat aku tidak ada, aku khawatir akan Dean.. aku khawatir dia merasa kesepian.." ibu Dean menghela nafasnya berat.

".. besok operasi kelima ku.." ibu Dean menatap Johan.

".. andaikan aku tidak kembali, maukah kamu menjadi keluarga untuk Dean ?"

Johan diam beberapa detik lalu membuka mulutnya untuk bicara.
"Aku bisa mengadopsinya, tapi akan sangat sulit tanpa ijin dari orang tua kandungnya terlebih Dean sudah berusia cukup untuk bisa hidup mandiri"

Ibu Dean menarik laci lemari di dekat kasurnya lalu menulis sesuatu disana, dia juga memberi tanda tangan di atas kertas tadi.

Ibu Dean melipat kertas tadi lalu menyodorkannya pada Johan.

"Tolong simpan ini dan bukalah saat aku tiada.."

"Apa anda yakin ?" Tanya Johan.

"...ya, karena aku sudah tidak bisa menahan semua ini lagi, rasanya sangat sakit.. kalau pun aku masih hidup itu sebuah keajaiban dan aku bersyukur pencipta memberi ku kesempatan lagi" ibu Dean tersenyum.

Melihat senyuman ibu Dean, Johan tidak bisa berkat-kata. Dia hanya diam sembari meremas pelan kertas yang ibu Dean berikan.

.
.

Setelah operasi kelimanya, ibu Dean tak juga sadar dari koma. Dokter berkata teruslah Dean berharap karena hanya keajaiban lah yang mampu menolong ibu Dean karena tim dokter sudah berusaha dengan baik.

Hari berganti hari, ibu Dean tak kunjung sadar. Kondisinya semakin hari semakin lemah, hingga suatu hari alat untuk mengecek jantung ibu Dean berhenti bergerak.

Tim dokter berusaha menyelamatkan ibu Dean tapi takdir berkata lain.

"Jam kematian 20:15"

Mendengar apa yang dokter katakan, Dean langsung menangis histeris.

Johan tidak tau kata-kata apa yang tepat untuk menyabarkan Dean saat ini jadilah Johan hanya memeluk Dean erat.

Setelah tiga tahun melewati rasa sakit dan sudah berjuang sekuat tenaga, ibu Dean akhirnya menutup usia meninggalkan Dean putra satu-satunya.

.
.

Bersambung ...

(Tamat) Come to Papa (BL 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang