Healing Journey

11.6K 1.1K 33
                                    

Bandara, tempat yang menurutku menyimpan banyak cerita. Ada perpisahan dan pertemuan, ada rasa senang dan sedih. Aku mengamati sekelilingku, ada yang bahagia akan pergi berlibur, ada yang berpelukan lalu menangis, mungkin sang kekasih akan pergi untuk waktu yang cukup lama hingga membuat mereka saling meneteskan air mata. Aku suka bandara. Aku suka duduk menatap berbagai macam ekspresi setiap orang. Menurutku bandara menjadi saksi bisu untuk semua emosi manusia.

Bunyi panggilan telepon membuyarkan lamunanku. Nina telepon.

"Ya nyet?"

"Jam berapa boarding?"

"Jam 15.30"

"Udah di bandara loe?"

Aku mengangguk, sadar kalau Nina tidak bisa melihat lalu aku bergumam, "Hem.."

Aku sudah tiba di bandara dari jam 11 siang dan sekarang baru jam 12.30, masih ada waktu dua jam sebelum aku boarding.

"Entar gue tunggu di Solaria ya..."

"Iya, thank you ya.. btw emak gue sayang banget kayaknya sama loe, bawain banyak banget makanan buat loe."

"Emang emak loe lebih baik daripada anaknya sih." Balas Nina nyinyir.

Keputusan implusif yang aku buat tiga hari yang lalu, liburan ke Bali. Keputusan yang sangat didukung oleh adik dan ibuku. Ibu tanpa banyak bertanya, tahu bahwa aku tidak baik-baik saja. Setiap malam, setelah aku tidur, beliau selalu masuk ke kamarku. Ibu tidak melakukan apapun, beliau hanya duduk dipinggir ranjang dan menatapku. Terkadang beliau menyentuh lembut keningku atau membenarkan letak selimutku. Aku tau, bukan hanya aku yang terluka, Ibu juga terluka.

Jadi begitu aku bilang akan ke Bali tiga hari yang lalu. Ibu sangat bersemangat, beliau juga memintaku menanyakan Nina mau dibawakan apa dari Bandung.

Mungkin terlambat untuk aku menyadari semuanya. Disaat aku merasa aku tidak memiliki siapapun di dunia ini dan tidak ada yang mencintaiku. Ada Ibu yang mencintaiku dengan tulus dan tanpa syarat.

***

Aku sudah membuat itinerary perjalanan ke Bali kali ini. Aku menyebutnya my healing journey. Aku akan pergi ke Nusa Penida, entah berapa lama aku akan berlibur di pulau kecil disebelah tenggara Pulau Bali. Pulau yang masih sepi dibandingkan Pulau Bali.

Aku saat ini butuh ketenangan, bukan hingar bingar kota Bali yang terkenal tidak pernah padam. Dan aku menjatuhkan pilihan pada pulau kecil ini.

"Kabarin kalau udah sampe ya." Kata Nina ketika dia mengantarku ke Pantai Matahari terbit, tempat pelabuhan fast boat tujuan Nusa Penida berada.

"Iya."

"Nginep dimana jadinya?"

"Belum tahu, ntar sampe sana baru lihat-lihat."

"Kabarin juga loe nginep mana."

"Iya bawel." Aku mengambil ransel yang Nina berikan padaku.

"Gue nggak akan bawel kalau loe ijinin gue ikut loe!" Balasnya sewot, "Lagian emang enak traveling sendirian gini."

Aku tersenyum. Aku tahu Nina khawatir. Setelah semua hal yang terjadi kepadaku, dia takut aku berbuat hal yang tidak-tidak. Sampai sejauh itu pemikiran Nina.

"Gue baik-baik aja Nina." Tegasku.

"Kalau loe baik-baik aja, loe bakalan ijinin gue ikut loe liburan ke Penida." Balas Nina cepat. "Lagian loe nggak bete gitu traveling di Penida sendirian?"

"Kalau gue bete, gue bakalan telepon loe!" Nina mencibir tapi tidak membantah.

"Tuh bule juga solo traveler." Aku menunjuk ke arah segerombolan bule dengan daguku.

Insecurity (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang