Berteman

10K 1.1K 8
                                    

Andi menyuruhku untuk mencarikan tempat duduk untuk kita berdua sementara dia memesan hot cappucino untukku dan hot americano untuknya.

Ingin rasanya aku kabur dari tempat ini. Pikiranku kalut, apa yang harus aku katakan? Tapi niatan kabur itu aku kubur, harus aku hilangkan dari otakku karena Andi memperhatikan gerak gerikku.

Aku mengambil tempat duduk agak dipojokan, hanya itu tempat yang kosong. Tak lama Andi datang, membawakan kopi untuk kita berdua.

"Nih cappucino-nya." Tak lama Andi duduk di depanku.

"Jadi apa yang mau kamu omongin sama saya?" Lanjutnya.

"Saya minta maaf.." Jawabku pelan.

"Minta maaf untuk?" Andi menatapku menuntut penjelasan.

Andi benar-benar menyebalkan. Aku tau sebenarnya dia tau apa yang mau aku bicarakan karena dia tadi sudah mengakui kalau dia menguping pembicaraanku dengan Nina. Tapi sepertinya dia ingin aku mengucapkannya lagi secara langsung.

"Udah mikir negatif tentang kamu." Sudahlah, memang masalah ini harus segera diselesaikan.

"Negatif?" Aku mengerang kesal.

"Yang waktu kamu mau anterin saya pulang.. kata-kata itu.."

Andi tampak pura-pura berpikir. Lalu senyum tipis muncul di sudut bibirnya.

"Ohh.. yang itu."

"Iya"

"Kenapa kamu bisa berpikiran sejelek itu sama saya?"

Aku mengendikkan bahu, lalu meminum hot cappuccino-ku.

"Apa image saya sejelek itu dimata kamu?"

"Rada aneh baru kenal udah ngajak ke apartemen." Jawabku.

"Kayaknya kita nggak baru kenal deh."

"Baru.." Tegasku

"Ok.. kalo menurut kamu kita baru kenal." Andi meminum hot americano-nya, "Tapi itu bukan alasan kamu untuk judge saya kayak gitu juga kan?"

"Saya nggak nge-judge kamu!" Aku membela diri.

"Terus apa?" Andi menuntut jawaban.

"Saya cuman berburuk sangka aja sama kamu. Maaf, kamu nggak salah." Aku lelah berdebat dengan Andi, lebih baik aku mengalah.

"Kamu yang nggak mau denger penjelasan saya dulu lho." Kedua bola mata itu menatapku, "Saya nggak ada niatan ngajak kamu ke unit saya. Sama kayak kita abis makan nasi uduk. Kamu nunggu di lobby."

Aya bodoh! 

Mikir yang nggak-nggak! 

Malu sendiri kan sekarang!

"Ohh.." Aku meneguk capuccino-ku yang mulai mendingin.

"Jadi.. Are we clear now?" Aku menganggukan kepala.

Andi melirik ke arah smoking area. Mungkin dia mau ngerokok.

"Kamu mau ngerokok?" Andi mengangguk. "Sok aja sana."

"Kamu mau pindah?"

"Nggak, abis kopi ini saya mau pulang."

"Masih jam setengah sepuluh juga." Andi melihat jam tanggannya.

"Besok masih harus kerja."

"Nggak jadi deh.." Andi menaruh bungkus rokok dimeja.

"Kenapa?"

"Kasian kamu sendirian disini."

"Saya udah biasa."

"Biasa sendirian?" Aku menganggukan kepala. "Nggak awkward?"

"Biasa aja"

"Kenapa?"

Aku menatap Andi, menggelengkan kepala. "Ngobrol sama kamu semuanya harus ada penjelasan ya?"

"Jadi kenapa?"

"Saya nggak perlu juga jelasin ke kamu kan?"

"Ok, here we go again..." Andi menghela napas kasar. 

Aku menatap Andi agak lama, mungkin dia lelah menghadapi orang semacam aku. Andi menunduk menatap layar HP-nya. 

"Saya pulang ya..." Kataku memecah kesunyian.

Andi menganggukan kepalanya, "Udah pesen grab?" Aku menggelengkan kepala, "Pesen aja dulu, deket ini sama jalan keluarnya. Nunggu disini aja."

Aku menuruti kata-kata Andi, mengeluarkan HP dan memesan ojek online. Karena permintaan tinggi yang berbarengan dengan jam tutup mall, aku agak kesulitan mendapatkan ojek online. Sekalinya dapet jaraknya jauh dan aku harus nunggu sekitar sepuluh menit.

"Udah dapet?"

"Udah, sepuluh menitan lagi katanya baru sampe, macet."

"Kamu ngerasa nggak nyaman sama saya?"

"Hah?"

"Saya hanya menawarkan pertemanan sama kamu, tapi kamu kayaknya nggak mau berteman sama saya."

"Saya..."

"Ellen cerita katanya kamu anaknya asik dan gampang berteman sama siapa aja." Andi menatapku, tersenyum tipis. "Tapi kenapa sama saya kamu seperti yang alergi. Apa saya nggak bisa jadi teman kamu?"

"Andi, bukan gitu maksudnya..."

"Jadi maksudnya apa?"

"Saya..." 

"Binggung kan kamu mau jawab apa? Jujur aja sama saya."

"Kok jadi gini sih?" Aku menggaruk kepalaku  yang tidak gatal

Andi masih menatapku. 

Masa aku harus jujur sama Andi, kalau aku hanya akan kaku bila bertemu dengan laki-laki yang aku taksir.

Andi masih tetap menatapku, menunggu jawaban.

"Saya nggak alergi sama kamu. Saya cuman nggak terbiasa berteman sama pria...."

"Really?" Andi memiringkan kepalanya, "Kamu berteman akrab sama teman-teman pria di kantor kan? Ellen cerita kok ke saya gimana suasana kantor kamu."

Sialan Ellen! Aku harus alesan apa lagi sekarang?

"Berteman?" Andi mengulurkan tanfan kanannya, mengajak berjabat tangan.

Aku menyambut uluran tangannya, "Berteman"

Aku tidak yakin bisa berteman tulus tanpa diembel-embeli cinta didalamnya. Tapi untuk saat ini, berteman sudah cukup bagiku.

Insecurity (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang