Tidak terasa sudah masuk bulan ke empat sejak aku dan Andi memutuskan kembali menjalin hubungan. Tidak ada yang berubah dari hubungan kami selain jarak.
Aku masih tinggal di Bandung, berjuang mencari pekerjaan baru yang cocok denganku. Hampir tiap weekend, Andi datang mengunjungiku di Bandung. Nge-date, katanya.
Tidak ada penolakan baik dari Ibu maupun adikku tentang aku yang kembali menjalin hubungan dengan Andi. Bukannya hanya Ibu, keluarga besar Ibu pun menyambut Andi dengan ramah, terlampau ramah malah.
Sifat Andi yang mudah membuat orang jatuh hati menjadi kunci kesuksesannya menjadi calon mantu idaman di keluarga Ibu. Setidaknya itu yang Bi Sari katakan kepada Andi. Yang membuat Andi selalu jumawa dengan predikatnya itu.
"Si Andi mah paporitna bibi. Eweh anu ngelehkeun." Seloroh Bi Sari dengan logat sundanya. "Kasep pisan.. Sayang yah si Bella teh keur hamil kalau nggak mah udah bibi nikahin kamu sama si Bella."
"Tapi saya cintanya sama Aya, Bi." Balas Andi sambil melirik kearahku.
"Kamu teh dipelet yah sama si Aya?" Bi Sari menyipitkan matanya menatap Andi.
"Aya kali yang pelet saya, Bi."
Jari telunjuk gendut milik Bi Sari menunjuk Andi, "Tah.. eta anu bener. Aya yang pelet kamu. Kamu kasep gini. Pasti si Aya yang pelet."
"Bi Sari!!" Protesku yang dibalas dengan tawa Andi dan Bi Sari.
***
"Gimana?"
"Aku dapet panggilan interview." Ulangku.
"Iya, aku denger tadi, kata-kata setelahnya yang aku nggak gitu denger jelas." Aku mendengar Andi pamit pada teman-temannya.
"Kamu lagi dimana?"
"Kantin. Makan siang."
"Oh, ya udah entar aku telepon lagi. Kamu lanjutin dulu makan siangnya."
"Udah selesai. Mau sebat. Gimana tadi?"
"Interview."
"Dimana?"
"Bali." Andi tidak merespon omonganku. "Andi?"
"Harus di Bali? Yang Jakarta kemarin gimana?"
"Belum ada info."
"Ya sabar dong, sayang. Baru minggu lalu interview-nya kan?"
"Tapi company yang di Bali ini bagus, aku udah cek."
"Terserah kamu kalau gitu." Suara Andi terdengar lelah.
"Kamu nggak setuju?"
"Yah, palingan aku nggak bisa datangin kamu seminggu sekali kayak kalau kamu tinggal di Bandung." Jeda. Sepertiya Andi sedang menghisap rokoknya. "Soalnya cintaku berat di ongkos."
"Receh!" Balasku disusul tawa.
"Yes, tapi bener kan? Mahal ongkos tiket pesawat beda sama kereta."
"Aku belum bales emailnya mereka sih. Aku mau nanya pendapat kamu dulu."
"Apapun yang kamu pilih, aku selalu dukung kamu. Aku nggak mau ngelarang-larang kamu soalnya kamu bukan istri aku, kan?"
Bukan istri? Ada sedikit sakit dan sesak menyelusup kedalam hatiku mendengar Andi mengatakannya.
"Yang..." Panggil Andi. "Minggu depan kita tetep jadi ke Jogja, kan?"
"Iya, Renata udah telepon, ingetin aku terus. Kadonya gimana?" Jawabku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Insecurity (TAMAT)
ChickLit"Now, tell me how can i love someone who didn't love herself?" Aku terdiam. "Kamu dan pikiran kamu itu yang harus diperbaiki." Dia menambahkan.