Sudah seminggu aku berada di Singapore. Tanpa tahu kapan aku akan kembali ke Jakarta. Ellen dan Miko menggodaku. Secara terang-terangan mereka memberitahuku bahwa mereka iri kepadaku. Mereka tidak tahu saja, seminggu ini aku hidup di neraka.
Boss tidak pernah segila ini sebelumnya. Dia menjabarkan semua kesalahanku. Pekerjaan yang sebenarnya tanggung jawab karyawan lain seolah-olah menjadi tanggung jawabku.
Boss bahkan menjelaskan kembali pasal-pasal yang ada di kontrak kerjaku. Tidak berhenti sampai disitu. Boss bahkan mencetak lembaran jobs desc yang telah aku tanda tangani, ada banyak coretan di kertas yang sekarang ada dihadapanku. Hampir semua poin yang ada dilingkari tinta warna merah.
"Jadi kamu paham sekarang salah kamu apa?" Tanya Boss.
Aku menghembuskan napas pelan. Enggan untuk membuat masalah. Terlalu lelah untuk menyiram bensin di api yang membara.
"Ngerti nggak?Apa perlu saya ulangi tiap poinnya?" Ulangnya.
Aku menganggukan kepala.
"Jangan ngangguk-ngangguk tapi ngulangin hal yang sama. Sudah cukup saya bersabar selama 4 bulan ini."
"Iya Pak."
"Lagian kamu kayak anak kemarin sore yang baru pacaran sampai nggak bisa memilah antara pekerjaan sama kehidupan pribadi."
"Pak, ini nggak ada hubungannya.."
"Yang menilai orang lain bukan diri kamu sendiri!" Boss memotong pembelaanku.
Cukup. Aku tidak akan tinggal diam kali ini. Cukup seminggu ini dia mencecarku dengan kalimat yang sama.
"Selama ini nggak ada yang pernah complaint Pak. Karyawan yang lain nggak ada yang complaint. Hanya Bapak yang complaint. Justru mereka complaint ke saya karena instruksi Bapak yang nggak jelas." Protesku.
Aku menatap Boss sengit. Aku lelah menjadi pihak yang selalu dia salahkan.
"Bapak selalu bilang salah tanpa bilang mau bapak yang seperti apa. Bapak nggak info mau margin berapa persen, bapak nggak bilang harus kurangin cost berapa persen. Bapak juga nggak bilang tema design Ellen harus seperti apa. Dan asal Bapak tahu, kesalahan yang terjadi di lapangan itu diluar kendali saya."
"Kamu orang yang saya percaya. Kamu tangan kanan saya. Sudah sewajarnya saya mencecar kamu!"
"Sudah sewajarnya?" Aku mengulang penggalan katanya.
Aku menyadarkan punggungku di kursi. Melipat kedua tangan di dada.
"Bapak yang aneh. Bapak yang nggak profesional."
Boss menatapku, menuntutku untuk melanjutkan perkataanku.
"Semenjak saya punya pacar Bapak selalu mencari-cari kesalahan saya."
Boss terdiam. Cukup lama.
"Kalau memang iya kamu mau apa?"
Jawabannya memakuku. Aku terdiam. Menatapnya yang menatapku.
Cukup lama kami saling menatap sampai aku yang memutuskan pandangan lebih dulu.
"Rasa percaya diri kamu perlu diperbaiki." Aku menatapnya kembali, "Kamu pikir pacar kamu itu benar ada hati sama kamu?"
Dia membuka HPnya. Menunjukkan fotoku dan Andi yang sedang berlibur di Bali kemarin.
"Tampangnya lumayan. Tapi seleranya downgrade." Boss meletakkan HP di atas meja.
"Maksudnya?"
"Kamu yakin dia ada perasaan sama kamu? Nggak ada motif tertentu?" Boss memajukan badannya ke arahku. "Semua mantannya cantik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Insecurity (TAMAT)
ChickLit"Now, tell me how can i love someone who didn't love herself?" Aku terdiam. "Kamu dan pikiran kamu itu yang harus diperbaiki." Dia menambahkan.