Khawatir

440 66 18
                                    

"Aw pelan-pelan bego!"

Langit mengumpat kala Guntur mengobati lukanya.

"Bacot banget sih Lang, gue sentil juga nih lama-lama," ucap Guntur ikut kesal.

"Gue tabok lo kalau beneran nyentil," ucap Langit.

"Alah sok-sok an, make baju aja minta bantuan," ledek Guntur.

"Sialan!"

"Bener kan gue?"

Langit tak menjawab, berdebat dengan Guntur memang tidak mudah, tidak akan menang bila melawannya.

"Lo yakin nggak mau dengerin penjelasan pacar lo dulu? Seenggaknya pasti dia punya alasan," ucap Guntur mulai menyinggung ke persoalan hubungan Langit dan Dian.

"Males gue," balas Langit.

"Kalau taunya cuma salah paham gimana? Udah terlanjur diputusin, eh faktanya bukan kaya apa yang lo tuduhin. Mampus lo nyesel seumur hidup," ucap Guntur.

Ada benarnya juga, bagaimana jika yang Langit tuduhkan itu hanya salah paham? Bagaimana jika faktanya tidak seperti itu.

"Diem kan lo."

"Ah nggak mungkin, pasti dia sama adek gue emang udah ada hubungan. Nyatanya sampe pegang tangan gitu," ucap Langit masih keras kepala.

"Emang lo ikhlas kalau Dian pacaran sama Gino?" tanya Guntur.

"Ya enggak lah! Ya kali," balas Langit ngegas.

"Yaudah berarti sama gue aja," ucap Guntur santai.

"Matamu!"

"Loh, gimana sih. Disuruh baikan nggak mau, suruh ikhlasin nggak mau. Terus mau lo apa?" ketus Guntur.

"Diem aja deh Tur, males gue bahas kaya beginian," ucap Langit.

"Yaudah."

Disisi lain, hari yang sudah mulai gelap itu tidak membuat Dian untuk memutuskan pulang, ia masih diam di dalam mobilnya dengan Gino yang mengemudi entah kemana.

Berniat ingin mencari Langit namun hasilnya nihil, tidak ada tanda-tanda Langit. Bahkan sedari tadi tidak henti-hentinya Dian mencoba untuk menghubungi Langit, namun ponsel Langit mati.

Ralat, sengaja dimatikan.

"Cha, pulang aja ya?" tawar Gino.

"Ke rumah kamu dulu aja Gin, mungkin Langit udah pulang," balas Dian tanpa menoleh ke arah Gino.

Tatapannya masih lurus ke depan.

"Maafin ya Cha, gara-gara aku. Malah jadi gini," ucap Gino.

"Nggak usah dibahas Gin," ucap Dian.

"Gue males bahas itu," lanjutnya.

Dan ya, Gino langsung diam. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri, seharusnya tadi ia tidak mengungkapkan perasaannya, andai jika bisa ia tahan dan ia pendam. Mungkin tidak akan seperti ini jadinya.

«»«»«»

Jam menunjukkan pukul 8 malam, dari tadi Dian juga belum makan, hanya semangkok bakso yang belum habis.

"Achaa! Gino masakin masakan istimewa buat Acha, dimakan ya," ucap Gino sembari membawa sepiring nasi.

Dian terkekeh singkat, "dibilang aku enggak laper Gin," balasnya berusaha menolak.

Crazy Boyfriend 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang