Takut

751 67 2
                                    

Saudara Hasby Kusuma bin Yahya Kusuma, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan saudara perempuan saya Fayra Lafatunnisa binti Fadilah Ahmad dengan mas kawin uang satu juta lima ratus delapan ribu rupiah dibayar tunai.

Ada getar yang terdengar di suara Fayyaz yang lembut. Dia menjabat tangan seorang pria di hadapannya, seorang pria bernama Hasby yang dalam hitungan detik ini akan menjadi iparnya. Hasby melantangkan ikrar cintanya di hadapan wali dan saksi, di hadapan semua orang, juga di hadapan Fayra-seorang perempuan yang sangat ia cintai.

Seketika kata "sah" yang serentak terucap membuat atmosfer haru kental menyelimuti ruangan itu. Sakina tak henti menghapus air matanya dengan tisu. Dia begitu takjub melihat pesona Fayyaz yang menjadi wali nikah adik kembarnya sendiri.

Air mata ibu yang tampak tabah sedari tadi akhirnya tumpah juga. Tangannya menggenggam Sakina, erat. Seolah takut sendiri, karena setelah ini Fayra akan dibawa terbang bersama Hasby untuk menetap di Turki-mendampinginya melanjutkan studi S2 di sana.

"Sepertinya kamu perlu ini," tangan Sakina terulur dengan selembar tisu.

Fayyaz meliriknya dengan sesimpul senyum. Mata Fayyaz terlihat merah berbinar saat menyaksikan Fayra dan Hasby bersanding bahagia di kursi pengantin. Dia sengaja berbagi tugas dengan kerabatnya untuk menemani ibu duduk di pelaminan.

Pernikahan Fayra dan Hasby mengusung tema klasik modern dengan paduan warna biru dan putih yang indah. Fayra mengenakan gaun putih nan menawan, sementara Hasby mengenakan tuksedo berwarna biru. Acara resepsi digelar langsung setelah akad dengan nuansa mawar putih dan pencahayaan yang romantis. Sementara pengiring pengantin-salah satunya Fayyaz dan Sakina memakai seragam dengan warna senada.

"Sudah makan?" Tanya Fayyaz seraya meraih tisu dari tangan Sakina.

Sakina menggeleng. Suasana hatinya sedikit tidak baik karena dia hadir tanpa umi dan abi di sana. Hidangan yang tersedia pun seakan tak berhasil menggugahnya. Umi sudah jauh hari diajak beberapa temannya dari Ikatan Bidan Indonesia untuk menonton turnamen bulutangkis di Istora Senayan, tepatnya sebelum undangan pernikahan Fayra tiba di rumah. Sementara abi ada jadwal praktik di rumah sakit yang tidak bisa ditinggal.

"Aku ambilkan, ya?"

Fayyaz masih menghadap Sakina dengan tatap menunggu.

"Nope."

"Atau dansa bersamaku? Mau tidak?" Tanya Fayyaz menggoda.

Sakina tersipu namun setuju. Mereka berbaur ke tengah area dansa bersama pasangan lainnya. Musik mengalun lembut nan syahdu-seolah memberi nyawa pada suasana romantis penuh cinta. Fayyaz dan Sakina saling mendekat dan meniadakan jarak di antara mereka. Tak lama dari itu, suara bunyi terdengar dari perut Sakina yang membuat mereka diam serentak.

Fayyaz tertawa. "Ayo makan!"

Sakina mendahului Fayyaz sambil menahan tawanya. Dia melangkah menuju gubukan siomay. Ruangan megah ini begitu penuh dihadiri para tamu. Ada yang masih meramaikan pelaminan dengan ucapan selamat, ada yang sedang hanyut dalam alunan suara merdu penyanyi yang membawakan lagu Endless Love dari Luther Vandross dan Mariah Carey, ada juga yang sedang asyik mengambil hidangan seperti Fayyaz dan Sakina.

"Mas ...."

Mata Sakina mengitari sekeliling-mencari Fayyaz yang tiba-tiba menghilang dari sisinya. Kedua tangannya sudah terisi penuh oleh dua piring siomay. Dia kesulitan untuk mengambil cendol, sementara antreannya sudah semakin panjang.

"Ini, De."

Tiba-tiba segelas cendol melayang di depannya. Sakina menoleh ke pemilik tangan yang menggenggam cendol itu.

"Alhamdulillah, makasih Mas."

Mereka berdua mencari tempat untuk menghabiskan siomay dan cendol bersama.

"Tujuh tahun lagi, kita yang duduk di sana ya, Mas."

"Tujuh tahun?" Tanya Fayyaz spontan.

"Iya, setelah aku jadi Bidan." Sakina mengunyah sisa siomay yang masih ada di mulutnya.

Fayyaz mengangguk dengan senyumnya. Dia mengusap sayang kepala Sakina. "Insya Allah."

Akankah kita juga berakhir bahagia di tempat itu untuk sebuah awal yang baru? Kau tahu, Sakina? Sejauh apapun pesawat membawaku terbang tinggi di langit, aku tidak pernah takut, asal aku tetap bersamamu saat aku kembali berpijak di bumi. Hanya ada satu ketakutan terbesarku saat ini, yaitu kehilanganmu dari sisiku.

"Sekali lagi barakallah ya, Mbak Fayra dan Kak Hasby," Sakina tersenyum pada Hasby dan memeluk ramah tubuh Fayra yang lebih tinggi darinya.

"Makasih Sakina. Jangan Mbak lagi dong ... kamu kan calon kakak ipar ku."

Ucapan Fayra barusan membuat mereka larut dalam gelak tawa. Tak lama Sakina menemui ibu untuk pamit. Ibu meraih tubuh mungilnya dan berbisik beberapa pesan di telinga sebelum akhirnya Sakina pulang diantar Fayyaz setelah acara selesai.

"Sering-sering main ke rumah, ya? Biar Ibu gak kesepian. Oh ya, titip tas ini untuk Umi. We should meet up some time."

***

Indonesia
Indonesia
Indonesia

Riuh suara menggema di ruang stadion bulutangkis sebagai bentuk dukungan semangat untuk seorang atlet Indonesia yang sedang bertarung di lapangan. Penonton terus bersorak dari tribune demi satu poin penentu kemenangan final ini.

HAFY RAFASYA

Pria karismatik bertubuh atletis dengan brewok di wajahnya itu sedang fokus kepada arah kok yang melayang di udara. Dia menjadi sorotan ribuan pasang mata. Tetes keringat terus bercucuran dan membanjir di bagian dahi yang tertutup headband berwarna biru tua. Sosoknya seakan menjadi wajah baru di dunia bulutangkis negeri ini.

Lawannya tak henti-henti memberinya serangan yang menjebak, namun Hafy tetap kuat akan pertahanannya. Dia terus berlari kemanapun kok itu membawanya hingga bajunya basah penuh keringat.

Satu lagi, sedikit lagi, sebentar lagi. Hayo Hafy, lo bisa! Pekiknya dalam hati.

Kok mendekat, hampir terjatuh namun pukulan backhand Hafy berhasil membawa kok itu melewati net dan jatuh di daerah lawan. Sayangnya, tubuh Hafy pun ikut tumbang. Pergelangan kakinya terkilir saat menyangga tubuhnya agar tetap seimbang. Suara penonton meledak-menyambut kemenangan Hafy sekaligus kekhawatiran akan kondisinya.

Sejenak Hafy bangkit untuk bersujud syukur atas keberhasilannya yang tak lepas karena kehendak Allah Swt.. Tim dan kawan-kawannya sudah menghambur ke tubuhnya dengan rasa bangga dan senang.

"Congrats Fy!" Seru salah seorang kawan.

Hafy naik ke podium dengan jalan sedikit pincang untuk pemberian medali dan cendera mata yang diabadikan dalam potret.

Bendera merah putih dikibarkan dengan iringan lagu kebangsaan. Hafy hanyut dalam suasana. Dia masih tidak menyangka bisa berdiri di atas podium juara ini. Tatapnya berbinar penuh hormat.

"Assalamu'alaikum Abi, jadi jemput Umi?" Tanya seorang perempuan paruh baya kepada seseorang yang diteleponnya.

"Wa'alaikum salam, memang sudah selesai pertandingannya? Siapa yang menang?" Sahut seseorang di sebrang sana.

"Sudah, Hafy Rafasya. Masya Allah Umi masih deg-degan nih," perempuan itu masih terbawa suasana pertandingan, dia terus memegangi dadanya yang berdegup.

"Alhamdulillah ... tapi Abi masih banyak pasien Mi. Maaf ya, Abi tidak jadi jemput. Umi hati-hati pulangnya."

"Oh gitu, ya sudah semangat Bi!"

Bersambung ...

Portrait of Destiny (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang