Belenggu

571 51 0
                                    

Setiap doa punya jalannya sendiri untuk terwujud. Karena doa akan tetap sampai ke langit meski disuarakan dalam diamnya sujud.

Mata Fayyaz tak teralihkan dari raut wajah menggemaskan milik Sakina. Kekasihnya itu sedang menirukan gaya si bayi mungil di layar gawai. Raut muka kecil yang merah mengecut imut—membuat Sakina tak henti-henti menggodanya.

"Mau dipanggil apa sama Hafa?" Tanya seorang wanita di sebrang sana.

"Tisa ... panggil aku Tisa, ya," pinta Sakina dengan senyumnya.

Fayyaz mengernyit. "Onti Sakina?"

Sakina mengangguk tanpa berpaling dari si kecil Hafa—putri Fayra yang baru saja lahir lusa kemarin.

"Kalau kamu, Yaz?"

"Pakde," sahut Fayyaz setelah meneguk capuccino-nya.

Sakina melirik Fayyaz yang menyisakan busa di kumis tipisnya. Dia menghapus busa itu dengan jemarinya. Fayyaz membeku sesaat sebelum akhirnya menurunkan tangan Sakina dari bibirnya.

"Pakde ini ... masa minumnya masih belepotan? Malu dong sama Hafa," gurau Sakina.

"Um, Mas ke toilet dulu ya, De. Sebentar ya, Hafa."

Fayyaz meninggalkan Sakina seorang diri karena tak lama dari itu, telepon video dari Fayra pun berakhir. Sorot mata Sakina mengekorinya sampai hilang dari jangkauan. Sakina menunggu Fayyaz bersama musik yang terus mengalun lembut dan segelas green tea hangat yang sudah mendingin.

Sejak lima menit lalu Fayyaz belum juga kembali, sementara Sakina asyik bermain tebak gambar di ponsel Fayyaz hingga muncul peringatan baterai lemah. Sakina meletakkannya di atas meja. Tak lama suara azan Isya berkumandang di sana—mengubah hening ruang kafe yang bising.

Seorang gadis yang baru datang mematikan suara azan di ponsel Fayyaz tanpa permisi. Sakina menoleh kaget akan kehadirannya yang tiba-tiba.

"Genia?"

"Sendirian aja? Pacar lu mana?" Interogasi gadis bernama Genia itu.

Sakina berpaling, tak menghiraukannya. Genia kemudian pergi tanpa pamit, mungkin kesal karena diabaikan.

"Eh maaf, Mbak," ujar seorang pelayan yang tidak sengaja menyenggol tas Sakina hingga terjatuh. Pelayan itu meraih tas Sakina dan mengembalikannya ke tempat semula.

"It's oke," Sakina meraba isi tasnya untuk memastikan layar ponselnya tidak retak.

Arloji terus berdetik, tapi tidak satupun detiknya membawa Fayyaz kembali duduk bersamanya. Sakina meresah. Dia hendak menyusul Fayyaz yang tak kunjung kembali, namun dua orang pria berseragam polisi masuk dan menghadang langkah Sakina. Kehadiran mereka membisukan seluruh penghuni kafe.

"Maaf, boleh kami periksa sebentar?"

Sakina mematung. Tasnya diambil untuk diperiksa. Mata Sakina membola saat polisi itu mengeluarkan sebuah benda kecil yang tersembunyi di balik bungkus permen. Sontak Sakina membantah benda itu bukanlah miliknya, namun kedua polisi itu tidak percaya.

"Mari ikut kami untuk pemeriksaan lebih lanjut."

Sakina manut dengan perasaan penuh takut.

***

Fayyaz tiba di kantor polisi dengan napas yang berantakan. Dilihatnya Sakina yang pucat tertahan di sana dengan deraian air mata. Sakina menangkap kehadiran Fayyaz. Mereka saling menghampiri dengan tatap nanar.

Portrait of Destiny (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang