LDR sama Suami

748 74 21
                                    

Dua sejoli sedang santai sejenak di balkon usai merampungkan cicilan barang-barang pindahan yang sempat tertunda dibereskan. Angin sore berembus lembut menyapu wajah mereka yang masih merayapi jajaran rumah sekitar.

Hafy membawa Sakina tinggal ke rumah pribadinya di daerah timur Jakarta. Dia mengembuskan syukur. Setitik senyum muncul di bibirnya. Allah Maha Baik telah memberinya kesempatan menikmati sebuah hari yang dinanti ini bersama seseorang yang dicintainya. Dia memang belum sempat merasakan tinggal dengan ayah dan ibu, karena rumah itu terbangun setelah setahun kepergian ayah. Namun sekarang sudah ada Sakina yang menjadi titik mula dan akan menemaninya sepanjang hidup di sini.

"Nanti kita jemput Grey, ya," ujar Hafy.

"Kenapa gak sekarang aja?"

Sakina sudah tak sabar meremas bulu-bulu halus milik si perantara yang mempertemukannya dengan Hafy. Seekor kucing manis menggemaskan jenis British Shorthair.

"Aku mau tunjukkan satu ruang istimewa dulu, ayo!" Hafy menarik pelan tangan Sakina.

Mereka menaiki tangga yang menghubungkan langsung dengan attic room. Ruangannya tampak luas berisikan televisi, beberapa bantal, juga foto-foto yang menghias dinding.

"Foto favoritku yang itu," tunjuk Hafy ke sebuah pigura besar.

Mata Sakina membola melihatnya. Momen saat Hafy melakukan smes yang dijadikan foto profil Instagramnya itu memenuhi pandangan Sakina. Ingin rasanya memberitahu Hafy kalau fotografer yang mengambil foto favoritnya sedang berdiri di sebelahnya. Baiklah, kali ini dia tidak mengurung keinginannya.

"Itu jepretanku," Sakina berterus terang seraya menunjukkan riwayat pesan mereka.

Hafy terkekeh tak menyangka. "Aku makin ganteng di foto kamu."

"Hish! Tapi iya sih," ungkap Sakina ikut tertawa.

Hafy memang tampak tampan dari segala sisi. Dasar serakah. Mata mereka saling bertemu beberapa detik sebelum akhirnya Sakina teralih pada foto keluarga Hafy. Tangannya mulai meraih sementara mulutnya siap berbicara tentang suatu pesan yang ingin ia sampaikan.

"Terima kasih Bu, sudah melahirkan Hafy ke dunia. Dan Ayah, terima kasih sudah merawat Hafy." Sakina memandang Hafy dengan seulas senyum. Hafy membalasnya lembut.
"Di lain kesempatan ... semoga aku bisa bertemu Hafy kecil, ya." Tersirat harapan di sana.

"Maksudnya anak kita?" Hafy menggoda. "Aamiin," lanjutnya seraya mengusap hangat pipi Sakina.

"Eh iya, kamu berapa lama di Malaysia?" Tetiba Sakina teringat akan turnamen suaminya lusa nanti.

"Kurang lebih seminggu, insya Allah."

"Padahal pengen banget ikut."

"It's okay, Love. Kamu juga kan harus kerja di sini."

Suara klakson mobil menyapa Hafy dan Sakina. Mereka segera turun untuk menyambut tamu yang datang dari sebelah rumah abi dan umi. Siapa lagi kalau bukan Jac dan Zal? Mereka memang sudah janji akan berkunjung sembari melihat-lihat album pernikahan yang sudah selesai dicetak.

Beberapa hidangan sudah tersaji. Sakina memesannya karena belum sempat memasak. Dia menyuruh kedua sahabatnya itu untuk mencicipi.

"Bentar, napas dulu. Abis nyasar gegara Jac sok tahu," Zalia duduk di sofa ruang tamu.

Sakina terbahak sembari mengambil minuman untuk Zalia dan Jacob. "Yaudah minum dulu deh."

"Nyasar kemana?" Tanya Hafy yang baru saja duduk di sebelah Jacob.

"Kompleks sebelah. Setengah jam keliling nyari rumah ini. Pantes aja gak ketemu, wong rumahnya ada di sini," imbuh Jacob sebelum meneguk minumannya.

"Kenapa gak telepon gue?" Sakina greget.

Portrait of Destiny (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang