Udara

556 54 0
                                    

Lepas berbahagia
Tanpa batas air mata
Bebas, seperti udara

"Keterlaluan ya lu, Jac! Satu sekolah udah tau Sakina masuk penjara, tapi lu gak tau apa-apa soal ini? Sahabat macam apa sih, lu? Oh ... oh ya gue lupa. Lu kan udah bukan sahabat lagi."

Zalia pergi menyisakan Jacob yang masih menunggu jawabannya tentang keadaan Sakina yang beberapa hari ini tidak terlihat di sekolah. Jacob mengejar langkahnya. Zalia terhenti, mencoba meredam amarahnya. Sekilas ia pandangi sosok sahabatnya yang setahun lebih ini terasa asing. Rasanya lama sekali menantikan momen ini, momen di mana Jacob berbicara dengannya lagi. Setitik embun menggenang di netranya. Baru saja bibirnya terbuka, tetiba ponselnya berdering. Dari Fayyaz.

"Iya wa'alaikumussalaam. Oh oke aku ke sana," sahut Zalia.

Jacob mendekatkan telinganya ke ponsel Zalia, berharap mendengar sesuatu tentang Sakina dari sana. Zalia meliriknya dan langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas.

"Lu bisa ikut, kan?" Zalia menunggu jawaban Jacob.

Jacob langsung menarik ujung lengan baju Zalia untuk turut bersamanya menuju mobil sebagai jawaban.

Sesampainya di tempat tujuan, mereka langsung menghampiri Fayyaz yang sedang berbicara serius dengan salah satu pelayan dan seorang pria berjas yang tak lain adalah manager dari kafe tersebut.

"Demi Allah Pak saya tidak memasukkan barang apapun ke tas Mbak itu saat menjatuhkannya ke lantai. Saya benar-benar tidak sengaja," ucap pelayan itu dengan suara gemetar namun terdengar sungguh-sungguh.

"Kalau begitu, boleh saya melihat CCTV?" Izin Fayyaz.

"Boleh Pak, mari kami antar. Pukul berapa kejadiannya?" Tanya si manager.

Fayyaz mengingat-ingat ucapan Sakina. "Tak lama setelah azan Isya. Sekitar jam tujuh malam."

Dapat. Rekaman cctv terjeda di pukul 19.01. Zalia dan Jacob ternganga melihat sosok di balik ini semua. Mereka saling berpandangan untuk beberapa detik. Sementara Fayyaz mendekat ke layar untuk memastikan apakah dia mengenal orang itu atau tidak, tapi ingatannya tak dapat membawa Fayyaz sampai ke sana.

"Zalia kenal?" Fayyaz menoleh.

"Kenal Kak."

"Oke. Tolong bantu kabari umi dan abi, ya. Saya mau telepon pihak polisi dulu."

***

Suara azan Isya berkumandang di langit ibu kota. Seorang gadis mempercepat larinya dengan napas terengah-engah. Dia tidak ingin dua polisi itu menangkap jejaknya. Dua polisi yang baru saja memergokinya saat sedang melakukan transaksi dengan seorang pengedar langganan. Gadis itu menepi dan memperoleh Sakina di sudut kafe. Netranya mengamati Sakina tajam dari jendela luar. Otaknya berjalan cepat. Betapa beruntungnya dia malam itu melihat Sakina mengenakan outfit senada dengannya. Jilbab merah muda yang berpadu dengan outer rajut berwarna putih. Polisi pun tak sempat melihat wajahnya yang tertutup masker. Dia pastikan dia akan lolos dari polisi. Bibirnya menyeringai sebelum berjalan masuk menghampiri Sakina.

"Jac, Sayang ... please tolong aku. Aku gak mau dipenjara. Aku sedang hamil anak kita. Waktu itu kita mabuk di klub, kita sama-sama tidak ingat apa yang kita lakukan di ruangan itu."

Jacob tersentak kaget mendengar dalih yang terlontar dari bibir perempuan itu, pun Sakina dan Fayyaz. Tidak dengan Zalia.

"Genia! Cukup ya! Udah cukup lu bikin nama Sakina jelek satu sekolah. Terus sekarang gue mau lu fitnah juga? Gue cuma temani lu di klub, tapi tidak untuk mabuk, apalagi melakukan hal yang lu ucap barusan. Itu pencemaran nama baik," elak Jacob dengan wajah memerah.

Selama ini Jacob memacari Genia untuk mencari tahu apa yang disembunyikan Genia karena itu telah melibatkan Sakina, sahabatnya. Jacob berusaha terjun langsung untuk membersihkan nama baik Sakina yang dibuat kotor oleh Genia. Setelah itu Jacob menjadi tahu bahwa Genia memakai uang rohis untuk foya-foya. Setiap malam Jacob menemaninya mabuk di klub. Satu hal yang Jacob tidak tahu, uang itu ternyata ia pakai juga untuk membeli narkoba.

"Gue lihat Genia ribut sama cowok di restoran tempat gue kerja part time. Dia menjatuhkan testpack ini sebelum dia pergi mengejar pria itu, ayah dari janinnya. Gue ada videonya. Maaf Gen kalau gue lancang, tapi kejahatan lu gak bisa didiemin," Zalia angkat suara. Dia yang bungkam sedari tadi dibuat naik pitam oleh ucapan Genia barusan.

"Lu selingkuh di belakang gue, Gen?"

"Kalau iya kenapa?! Lu juga gak pernah cinta sama gue, kan?! Seharusnya sejak awal gue gak pernah mau terima lu, Jac! Lu udah jebak gue! Lu harus tanggung jawab!" Genia berontak. Cepat-cepat polisi membawanya.

"Maafin gue, Gen," ungkap Jacob lirih.

"Kami meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada Mbak Sakina atas kekacauan ini. Kami berjanji akan memberi sanksi kepada anggota kami yang telah lalai dalam bertugas, dan kami tidak akan mengulanginya," ucap kepala polisi pada Sakina.

Sakina mengangguk seraya memandang iba kepergian Genia. Sementara Jacob menjauh dengan perasaan menyesal. Sedikit banyak dia juga salah telah membuat Genia terluka.

"Kita doakan yang terbaik untuk Genia ya, Jac. Nanti kita sering ke sini untuk tengok dia," bisik Zalia yang seakan tahu perasaan Jacob saat itu.

Sakina melangkah ke arah Jacob dengan binar di matanya. "Gue gak tahu harus marah atau berterima kasih sama lu, Jac. Dicintai pura-pura itu menyakitkan. Apalagi sama pacar sendiri. Gimana kalau Genia suka sama lu? Dia pasti sakit dan sedih banget sekarang. Jangan diulangi lagi ya Jac, meskipun itu demi gue."

Sekilas tangan Sakina mengusap bahu Jacob yang membungkuk. Senyumnya mengembang, tak bisa lagi disembunyikan. Ada rasa syukur yang terpanjat atas keberadaan Jacob di tengah-tengah dirinya dan Zalia lagi.

"Jadi gue dimaafin, kan?" Jacob nyengir. "Sumpah! Gue kangen sama lu Sakina, sama lu juga ... Zalia anaknya pak Husein. Satu tahun lebih gue puasa ngomong sama kalian."

Zalia memukul pelan pundaknya dengan botol minum.

"Kita duduk sebangku lagi, kan?" Tanya Jacob, lagi.

"Jangan harap!" Sahut Zalia ketus.

Sakina hanya tertawa melihat perdebatan mereka yang kembali dimulai. Pun dengan Fayyaz yang melihat tingkah ketiga anak SMA di hadapannya itu. Fayyaz perlahan menghampiri.

"Terima kasih ya, Jacob, Zalia. Kalian sudah sangat membantu." Senyum Fayyaz mengarah beriringan kepada Jacob dan Zalia. "Ayo De! Umi dan abi sudah menunggu di mobil," Fayyaz mendahului Sakina seraya membawakan tasnya menuju mobil.

Sakina berlari kecil mengikuti langkah Fayyaz. "Thank you for always being beside me and being a safe space for me, Mas Pramugara!" Bisik Sakina tepat di telinga Fayyaz.

Fayyaz menorehkan senyum di bibir untuk gadisnya. Dan sore itu, segala perasaan meluap indah, mengalir bersama rintik gerimis yang terus berjatuhan dari langit, lalu diterpa angin entah kemana.

Kebebasan Sakina disambut hangat oleh pihak sekolah dan seisinya. Sayangnya Sakina tetap tidak bisa mengikuti jalur undangan universitas. Ada perasaan kecewa yang menyelimuti Sakina setelah mendengar keputusan sekolah. Akhirnya Sakina belajar ekstra untuk persiapan masuk lewat jalur tes jika tidak lolos lewat jalur prestasi yang selama ini sudah dikumpulkannya lewat berbagai lomba dan olimpiade yang berhasil dijuarainya untuk menunjang pendidikan ke tingkat universitas kelak.

Bersambung...

Portrait of Destiny (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang