Berbulan-bulan lamanya Sakina mengurung diri di dalam kamar. Dia selalu menangis setiap kali bayangan itu berlintasan di kepalanya. Malam tergelap sepanjang hidup yang selama ini masih terus menghantui dengan rasa takut dan malu begitu luar biasa menggores hingga ke palung hatinya.
Segala usaha telah dicoba untuk mengalihkannya dari rasa trauma, namun belum berhasil jua. Setiap melangkahkan kaki untuk keluar rumah selalu saja gagal jika ada sosok laki-laki yang tertangkap netranya. Jiwanya seketika tergetar penuh ketakutan. Bahkan sampai hari ini ia masih belum bisa melakukan aktivitasnya sebagai seorang bidan. Selama ini pun umi yang selalu mengantarkan makanan untuknya ke kamar.
Umi dan abi tidak tinggal diam. Abi terus mencari jejak pelaku keji itu di sela kesibukannya sebagai seorang dokter. Sementara umi mencoba membujuk Sakina untuk berkonsultasi dengan psikolog, namun selalu saja ditolak. Sakina belum siap untuk berinteraksi dengan orang luar. Dia bahkan memutus kontak dengan Zalia dan Jacob sehingga mereka tidak dapat mengirimkan pesan untuknya lagi.
Sebenarnya di pagi hari setelah kejadian, Zalia datang ke rumah Sakina untuk berkunjung sebentar. Zalia mengajak Jacob, namun dia baru saja ke luar negeri selama seminggu untuk acara seminar bersama pakar psikologi. Entah kenapa firasat Zalia tidak baik terhadap Sakina. Ternyata benar, Sakina memang sedang tidak baik-baik saja.
Setelah hari itu Zalia menjadi lebih sering berkunjung ke rumah Sakina untuk mengetahui kabarnya dari umi atau abi. Setiap kali datang ke rumah, Zalia selalu menitip surat untuk Sakina. Semoga saja setelah membaca surat-suratnya dapat mengikis sedikit demi sedikit perasaan takut Sakina.
"... Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." QS. Ar-Ra'd ayat 28.
Sakina terus mengingat ayat itu dalam hati dan pikirannya. Benar saja, hanya di dalam salat dia bisa menemukan ketenangan. Namun jika dia selesai, pikirannya kembali membawanya kepada tragedi malam itu. Kini Sakina melengkapi salatnya dengan sunah-sunah lainnya.
Sebenarnya ada satu hal yang mengganjal benak Sakina sejak awal. Dia berpikir ada sesuatu yang aneh karena dia tidak merasakan bekas sakit apapun setelah ia terbangun.
"Umi benar, aku harus visum, tapi ...." Kondisi Sakina yang belum siap menerima segala resiko kembali mengurungkan niatnya.
Hingga di suatu hari ...
Sakina terpaksa harus turun ke bawah karena perutnya yang lapar sementara umi belum pulang praktik. Seseorang di ruang tamu menangkap kehadiran Sakina dan langsung berlari memeluknya.
"Sa ... gue kangen banget sama lu," tanpa sadar air matanya terjatuh.
Sakina masih terdiam beberapa detik sebelum akhirnya melepaskan pelukan orang itu. "Zalia ... kok lu ada di sini?"
"Iya, tadi umi pulang bareng gue, tapi balik lagi ke klinik karena ada yang ketinggalan," Zalia menatap Sakina lekat—penuh rindu.
Setelah itu Zalia mencoba mengajak Sakina bicara pelan-pelan sampai akhirnya Sakina kembali nyaman berdialog dengannya.
"Sa ... rasa trauma itu akan semakin sulit memudar kalau lu terus mengasuhnya setiap hari dengan cara lu mengurung diri di kamar, mungkin aja trauma itu malah semakin besar. Gue temenin lu keluar rumah lagi, ya? Kalau lu mau, gue mau ajak lu masuk kelas pencak silat khusus muslimah. Gimana?"
"Lu bener, Zal. Gue gak boleh seperti ini terus. Gimana rasa berani itu mau tumbuh kalau bukan gue sendiri yang tanam? Oke, gue mau ikut kelas itu," Sakina mengangguk dengan senyuman.
"Alhamdulillah. Jacob pasti seneng banget kalau tahu kabar ini juga."
Selama ini Jacob selalu menitip dukungan dan semangatnya untuk Sakina melalui Zalia. Jacob juga tak absen mengirimkan camilan dan bebuahan kesukaan Sakina lewat abi atau umi.
"Lima bulan ini gue gak pernah ketemu Jac, padahal rumah kita sebelahan."
"Lu udah siap ketemu sama cowok, Sa? Jacob sebenernya pengen banget ke sini. Greget katanya," ucap Zalia diakhiri tawa.
"Insya Allah siap. Gue harus coba, bukan?" Sakina melangkah ke kamarnya untuk memakai jilbab.
Mendengar hal itu Zalia senang bukan main. Dia langsung menghubungi Jacob untuk ke rumah Sakina. Selang beberapa menit, Jacob pun sudah muncul di balik pintu. Zalia membukanya dan tak lama Jacob masuk.
Pandangannya begitu perih melihat Sakina dengan wajah yang menirus dan tubuh yang tampak lebih kurus. Dia tak tega melihat sahabatnya itu tersiksa seperti ini. Jacob duduk di sebelah Zalia dengan menjaga jaraknya. Dia menatap Sakina yang ada di hadapannya diiringi senyuman hingga beberapa detik.
"Akhirnya kita bisa kumpul bertiga lagi," ungkap Jacob disertai getar di sana.
Zalia melirik Jacob dan mendapati embun yang menetes di sudut matanya. Zalia mengeluarkan tisu dari dalam tas dan memberinya ke Jacob.
"Jac apaan sih?! Jangan nangis! Tuh kan gue jadi ikutan," Sakina tertawa sekaligus menangis.
Terakhir diingatnya Jacob menangis saat Sakina kecil dirawat karena sakit tifus. Kini air mata itu kembali keluar untuknya.
"Sa ... kapanpun lu butuh gue dan Zalia, kita akan selalu ada buat lu. Oh ya, trauma lu harus ditangani sama ahlinya. Gue ada beberapa rekomendasi psikolog kalau lu mau."
"Gak mau, kan udah ada lu dan Zalia. Gue cukup konsultasi sama lu dan curhat ke Zalia." Sakina masih berusaha menutup noda itu rapat-rapat dari semua orang.
Mulai hari itu senyum Sakina terkumpul kembali. Sakina mencoba bangkit meski masih ditemani oleh Zalia jika ingin keluar rumah untuk kelas pencak silat atau sekadar refreshing. Terkadang Jacob pun ikut menemani.
Sakina juga mulai aktif mengikuti kajian seminggu sekali bersama Zalia, abi, juga umi. Bertemu dengan Fayyaz dan keluarganya sudah tidak lagi jadi masalah bagi Sakina. Hulya juga sudah mengetahui tentang masa lalu suaminya bersama Sakina. Justru Hulya, Sakina, dan kini ditambah Zalia menjadi semakin dekat karena sering bertemu di sana. Terlebih Hulya selalu membawa Hayyaz, putranya yang sangat gempal menggemaskan itu—yang tak absen dari gendongan Sakina jika bertemu.
"Next week ada tasyakuran satu tahun Hayyaz, jangan lupa datang, ya! Oh ya, insya Allah ada Fayra juga," seru Hulya pada Sakina dan Zalia.
"Masyaa Allah ramai dong. Ada Hafa juga. Ih seru deh. Insya Allah kita datang, ya kan Zal?" Sakina menyikut Zalia dengan tawa.
"Iya Insyaa Allah. Masa si gemes ultah, aku gak datang ...." Zalia ikut tertawa.
"Udah mau satu tahun aja nih. Hayyaz mau kado apa dari Tisa?" Tanya Sakina seraya mengusap pipi Hayyaz yang bulat.
Tak terasa hampir satu tahun Sakina hidup bersama luka. Bayangan itu masih terus menerornya sewaktu-waktu. Hanya saja terasa lebih ringan untuk menyikapinya karena kini Sakina sudah paham caranya.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Portrait of Destiny (end)
RomanceBeberapa orang datang dan pergi, tanpa tahu siapa yang akan menjadi pemilik hati. Sebanyak apapun Sakina memotret orang-orang yang pernah ditakdirkan terlintas di lensa kameranya, dia tidak pernah tahu orang mana yang akan ditakdirkan untuk menjadi...