Selamat Hafy, sukses selalu!
Barakallaah Hafy!
You did great job, Haf! Congrats!
Ribuan ucapan selamat dan doa terus menghujani ruang WhatsApp dan Instagramnya. Sampai detik ini pria itu masih tidak menyangka telah berhasil mematahkan omongan orang-orang tentang dirinya dulu, meski harus menyisakan kenang-kenangan di kakinya. Pria yang kini bertubuh tinggi dan gagah bak pangeran itu memiliki latar belakang yang cukup pelik.
Hafy-si bocah bertubuh gempal yang selalu diejek teman sebayanya jika berlatih badminton di lapangan kompleks.
Badanmu terlalu berat, akan susah untuk gerak cepat. Hahaha.
Dasar Hafy! Main badminton setiap hari tapi besar badanmu semakin menjadi.
Hafy sudah kenyang melahap semua masa lalunya yang selalu jadi bahan ejekan dan candaan. Dia memang bukan seorang pelawak andal, namun semua orang tertawa puas setelah merundungnya. Beruntung dia memiliki orang tua yang sangat mendukung segala mimpinya, meskipun di tengah jalan dia harus berjuang sendiri untuk mencapai garis finis.
"Saudara Hafy Rafasya."
Seorang perawat keluar dari ruangan dr. Randi Harsa, Sp.OT sembari melayangkan suara. Satu dua detik tak ada tanggapan membuat si perawat meninggikan volumenya.
"Saudara Hafy Rafasya."
Suara perawat di depannya membuat Hafy tersentak kaget dan terbangun dari lamunan. Dia gegas memasuki poli ortopedi dengan jalan terbata. Di sana sudah ada seorang dokter paruh baya yang tengah menunggu dengan senyum hangatnya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, cedera ringan yang Hafy alami perlahan membaik, bahkan mendekati pulih.
"Masih perlu istirahat beberapa hari lagi hingga benar-benar pulih. Tapi di masa pemulihan itu tetap membatasi aktivitas berat dulu, ya," jelas dokter Randi kepada Hafy.
"Alhamdulillah ... masih harus dikompres pakai es, Dok?"
"Sebaiknya iya. Asupan juga harus dijaga."
Hafy langsung keluar usai pemeriksaan. Tak lama ada sepasang kekasih yang memasuki ruangan dokter tersebut bertepatan dengan jam istirahat.
"Abi baru saja mau ke kantin. Terima kasih, ya. Memang siapa yang sakit?" Tanya dokter paruh baya itu kepada dua orang yang baru saja masuk ke ruangannya dengan sebungkus pepes ayam beraroma kemangi lengkap dengan nasi merah dan sebotol mineral.
"Teman saya, Bi," sahut seorang pria setelah mencium tangannya.
"Bi, Kina dan Mas Fayyaz langsung, ya. Nasinya harus habis loh nanti dia nangis. Hehehe."
Mereka berlalu meninggalkan gelak tawa. Langkahnya searah menuju lift. Melewati keramaian lalu lalang pasien. Kaki mereka memasuki lift yang padat bersamaan seorang pria dengan langkah sedikit pincang.
Sensor overload berbunyi. Salah satu dari mereka harus ada yang keluar. Pria dengan langkah pincang melirik sejoli di sebelahnya yang sedang bergenggaman. Tampaknya mereka hendak mengalah, namun pria itu memilih keluar lebih dulu.
***
Roda waktu telah mengantar para remaja putih abu-abu ke ujung pergantian semester. Sakina begitu lega sudah melewati hari-hari bersama butiran soal dengan baik. Kali ini tidak ada perayaan seperti biasanya. Ya, biasanya Jacob yang menyusun rencana meski dengan hal yang sederhana, seperti saat mereka keliling kota bertiga.
Kabar Jacob berpacaran dengan Genia sudah sampai ke telinganya. Kabar itu Sakina dapat dari mulut Genia sendiri. Kini sikap Jacob berubah 180 derajat kepada Sakina juga Zalia. Tidak sehangat sebelumnya, bahkan Jacob pun sudah tidak sebangku dengan Zalia.
"Gue cinta sama Genia, butuh waktu lama untuk luluhin hatinya. Masa seenteng itu lu suruh putus?"
Baru pertama Sakina melihat Jacob menatapnya begitu tajam setelah Sakina menyarankan untuk memutuskan hubungan dengan Genia. Wajahnya memerah seolah marah-tak suka privasinya diusik.
"Tapi ... Tapi kalau kabar ini kedengeran sampai telinga Kahfi dan Pak Muh, Genia bisa dikeluarin, Jac." Sahut Sakina peduli, dia tahu Genia sangat berusaha keras untuk menjabat sebagai bendahara rohis.
"Mereka gak akan tau kalau lu dan Zalia tutup mulut."
Suasana hening sesaat sebelum akhirnya Sakina bersuara untuk merangkai pinta.
"Setidaknya jangan begini ... jangan menjauh seperti ini," Sakina menegaskan inginnya.
"Maaf Sa ... sepertinya kita gak bisa kaya dulu lagi. Gue harus jaga perasaan Genia sekarang."
"Tapi ... kita masih sahabatan kan, Jac?" Ada satu pinta lagi yang terselip di balik tanya Sakina. Dia masih berharap Jacob-sahabat kecilnya tetap seperti dulu.
Jacob tidak menjawab. Dia malah memilih pergi membiarkan Sakina sendiri di sudut belakang sekolah.
Butuh empat bulan Jacob meyakini Genia agar mau menerima cintanya. Tepat sehari setelah Sakina dikeluarkan dari Rohis, Jacob menyatakan maksudnya untuk memacari Genia, namun Genia terus mengulur jawabannya hingga kemarin. Mereka merahasiakan itu dari siapapun kecuali Sakina dan Zalia.
Terang saja Sakina dan Zalia tidak bisa mencerna maksud Jacob dengan baik. Terlebih Jacob pernah bilang ingin dikenalkan dengan Hulya-sahabat online Sakina yang berasal dari Turki.
"Hulya siapa?" Tanya Jacob saat itu.
Perbincangan tentang Hulya muncul ketika Sakina tidak sengaja menyebut namanya dalam percakapan mereka bertiga.
"Temen online, dari Turki. Ibunya asli Indonesia."
"Wih kenalin gue ke dia dong," pinta Jacob antusias.
"Hahaha yakin lu mau pacaran? Udah siap disapa sama ribetnya perempuan?"
Sakina meledek dengan tawanya yang renyah. Sementara Zalia hanya menyimak mereka dalam diam. Sakina tahu betul sahabat kecilnya itu enggan menjalin hubungan serius dengan perempuan sebagai pasangan kekasih. Alasannya cuma satu, tidak mau ribet.
***
Sakina dan Zalia pergi mengunjungi perpustakaan di pusat kota untuk menghabiskan satu hari di sisa liburan mereka. Sakina mengambil sebuah buku tentang ilmu kebidanan dan mulai membacanya dengan pemandangan hamparan gedung-gedung kota Jakarta.
Sakina menyoroti kata demi kata yang tertera di lembar-lembar buku. Berulang-ulang dia baca, namun tak jua masuk ke otaknya. Sakina menyerah. Jacob telah menguras semua fokusnya beberapa hari ini.
"Gue bener-bener gak bisa bayangin kalau Jacob udah gak mau temenan sama kita, Zal."
Sakina juga bercerita kalau dia sering melihat Jacob pulang larut akhir-akhir ini dari jendela kamarnya. Zalia hanya mendengarkan Sakina seraya memilih buku di rak perpustakaan untuk dibaca. Sebenarnya dia sendiri bingung ingin baca buku apa. Perasaannya sedang tidak baik karena jarak Jacob dengan dirinya yang semakin jauh. Walaupun Jacob sering mengajaknya ribut setiap hari, jujur saja Zalia tidak pernah menginginkan hal ini terjadi.
Sejenak momen menjengkelkan Jacob menjadi hal yang paling ia rindukan saat ini. Ia rindu panggilan Zalia anaknya pak Husein yang terlontar untuknya. Sayangnya panggilan itu sudah surut sampai tidak pernah terdengar lagi. Teman sekaligus musuh sebangkunya itu adalah teman pria pertama yang pernah hadir di hidupnya. Dia dan Sakina begitu kehilangan sosoknya beberapa hari ini.
"Anak itu kenapa sih?" Hati Zalia seakan penuh dengan sebuah tanya.
"Kayanya kita salah tempat deh, Zal. Cabut yuk!" Ajak Sakina.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Portrait of Destiny (end)
RomanceBeberapa orang datang dan pergi, tanpa tahu siapa yang akan menjadi pemilik hati. Sebanyak apapun Sakina memotret orang-orang yang pernah ditakdirkan terlintas di lensa kameranya, dia tidak pernah tahu orang mana yang akan ditakdirkan untuk menjadi...