Pernahkah terlintas di pikiran, mencintai seseorang yang ternyata otak dari kekacauan hidup? Kekacauan yang masih menjajah hidupnya. Tidak. Sakina tidak habis pikir untuk itu. Emosinya meledak bersama gemuruh petir yang marah di langit malam.
Hafy sudah menunggu momen ini sejak satu tahun yang lalu. Momen di mana Sakina menjadi utuh miliknya. Hafy menanti dalam kesungguhan untuk menyentuh istri terkasihnya itu.
Ketika malam ini tiba dan semua sudah siap, Hafy melihat sebuah headband berwarna biru tua terjatuh dari atas lemari—tepatnya saat dia mengecup mesra bibir istrinya tuk pertama kali dan meniadakan jarak di antara mereka. Hafy meraih headband itu. Sakina yang menyembunyikannya di sana.
"Loh ini headband-ku. Dicari kemana-mana ternyata ada di sini. Aku sampai lupa kapan dia hilang,"
"I ... itu punya kamu, Haf? Yakin ... itu punyamu?"
Sakina menatap nanar, dengan perasaan takut yang tiba-tiba menguasai dirinya. Dia sangat berharap Hafy akan menjawab tidak, tapi ....
"Iya, this is mine."
Sakina terduduk di lantai. Tubuhnya melumpuh seketika bersama bayangan kelam yang mendobrak masuk di pikiran. Hafy refleks berlutut melihat istrinya yang sudah penuh dengan tangisan.
"Jadi ... kamu laki-laki itu? Kenapa kamu jahat banget, Haf?! Maksudnya apa merencanakan semua ini? Buat aku trauma, lalu pura-pura menerima. Pantas saja kamu tidak masalah dengan latar belakangku untuk kamu nikahi, karna memang kamu pelakunya. Kalau kamu mau kita nikah, gak gini caranya!" Sakina mendorong tubuh Hafy sekuat tenaga agar menjauh darinya.
Hafy dibuat tak mengerti dengan ucapan Sakina barusan. Sakina menjerit. Ia tak tahan mendengar suara Hafy yang pekat dengan kebohongan. Sakina tak ingin melihat suaminya lagi. Bukan hanya itu, dia pun meminta cerai malam itu juga.
"Kamu menuduh aku, Sayang?"
"Buktinya sudah jelas, headband ini milik kamu. Mau ngelak apa lagi?"
Susah payah Hafy mencoba menjelaskan bahwa dia bukan lelaki bejat itu, tapi Sakina telanjur hilang percaya. Pertengkaran mereka terdengar sampai kamar abi dan umi.
"Eh kok berisik sekali di atas ya, Bi?"
"Umi kaya gak tau aja. Ini kan anniversary mereka. Biar ... jangan diganggu," abi bersiap untuk tidur.
Lama-lama suara semakin keras dan umi yakin bahwa itu adalah suara keributan.
"Umi gak tenang, Bi. Kita harus pastikan dulu," umi beranjak lalu abi menyusul.
Benar saja, belum sampai langkah mereka ke depan pintu kamar Sakina, kegaduhan sudah lantang terdengar. Abi mengetuk pintu dan Sakina langsung membukanya. Dia meloncat ke pelukan sang umi sembari memberikan headband itu pada abi.
"Punya Hafy—pria berengsek yang selama ini sembunyi di balik topeng," Sakina menyorot Hafy tajam. Dadanya naik turun menahan sesak.
Umi dan abi sangat kecewa mendengarnya. Terlebih abi yang sampai detik ini masih belum menyerah mencari si pelaku keji. Tapi ternyata orang yang dia cari selama ini adalah menantunya sendiri yang berada di dekatnya. Bahkan kini pria itu ada di hadapannya. Ingin sekali abi menghajar Hafy dengan tangannya, tapi hatinya menahan. Abi hanya bisa beristighfar untuk menghalau nafsu amarah yang berkoar tak terima.
Hafy melihat tatapan abi yang memerah padanya. "Abi ... Hafy mohon dengerin dulu, ya. Biar Hafy jelasin. Headband itu memang punya Hafy, tapi bukan Hafy pelakunya. Hafy harap kalian percaya itu."
"Abi tunggu bukti kalau bukan kamu pelakunya. Tapi kalau sampai terbukti kamu, Abi tidak segan untuk menindak kepada yang berwajib. Soal pernikahan kalian, Abi serahkan semua keputusan ke Sakina."
![](https://img.wattpad.com/cover/246312875-288-k754770.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Portrait of Destiny (end)
RomanceBeberapa orang datang dan pergi, tanpa tahu siapa yang akan menjadi pemilik hati. Sebanyak apapun Sakina memotret orang-orang yang pernah ditakdirkan terlintas di lensa kameranya, dia tidak pernah tahu orang mana yang akan ditakdirkan untuk menjadi...