Aroma masakan semerbak menembus dinding hidung seorang pria yang berjalan menyusuri ruang dapur. Istrinya baru saja menyiram saus enoki ke chicken steak yang tersaji di atas piring putih. Dia melompat ke kursi makan dengan wajah tak sabar.
"Akhirnya pagi ini gak cium aroma tempe berpadu kurma dan minyak zaitun lagi," tangannya mulai meraih garpu dan pisau.
"Tenang ... untuk hari ini aja kok. Besok normal lagi."
Dia mengembuskan napas keras yang disambut tawa oleh sang istri. Kemudian mereka makan bersama di tengah pagi yang tenang.
"Ya ampun cucian!"
Seketika ingatan tentang cucian mengganggu sarapan mereka. Padahal rongga mulut baru terisi sesuap steak. Langkah wanita yang sudah rapi dengan outfit tugasnya semakin cepat menuju mesin cuci.
"Bibi masih di kampung?"
"Iya, Haf."
Sejenak mata Hafy beralih pada lantai rumah yang sudah bersih dari debu. Sakina mengerjakan semua itu sendiri saat ia terlelap selepas Subuh tadi.
Waktu hampir mengarah pada angka tujuh. Kalau tidak berangkat sekarang, istrinya akan telat sampai ke klinik. Hafy menyusul Sakina ke belakang.
"Mau kejebak macet?" Dia membawa Sakina bersamanya.
"Gak kok. Kamu makan aja sana. Nanti piringnya mau aku cuci. Lagipula cucian belum dijemur. Grey juga belum dikasih makan."
"Diam," Hafy mencubit bibir Sakina yang masih bicara.
Dia memberikan tas istrinya lalu matanya terfokus pada jilbab Sakina yang turun karena terlalu banyak gerak. Dia mengencangkan jarum yang tersemat di kepala istrinya agar kembali rapi seperti semula.
"Ayo aku antar."
"Eits makasih, tapi aku sendiri aja. Kamu kayanya lagi capek banget. Istirahat ya," Sakina mencium punggung tangan suaminya.
Hafy memang terjaga semalaman karena memikirkan rencana anniversary satu tahun mereka yang jatuh pada hari ini. Tapi sepertinya Sakina lupa karena sibuk mengerjakan pekerjaan rumah.
Hafy ingin momen anniversary pertama ini terasa berkesan sekaligus bisa menjadi penutup rasa bersalah yang masih membekas di benaknya, karena gagal membawa medali untuk hadiah ulang tahun Sakina beberapa waktu lalu.
Sakina menonton pertandingannya lewat televisi di ruang tunggu klinik bersama beberapa perawat di jam istirahat. Doa dilangitkannya agar harapan sang suami mewujud nyata, namun sayangnya takdir belum berpihak. Hafy tak berujung juara hari itu.
"Yah Pak Hafy gak bisa masuk ke final, padahal Bu Sakina lagi milad," keluh salah satu perawat di telinganya.
"Ya gak apa-apa dong. Hafy melakukan yang terbaik tanpa satu luka di tubuhnya saja, sudah jadi hadiah yang cukup untuk saya," tegas Sakina.
Dia meraih ponselnya di saku—hendak mengirimi Hafy ucapan, namun urung ia lakukan karena bicara langsung akan terasa lebih baik.
Malamnya sebuket bunga melayang masuk saat pintu rumah terbuka. Sakina menarik sebuah tangan yang menggenggam bunga itu ke dekapnya.
"Maaf gak sesuai harapan," bisik Hafy lembut seraya mengeratkan pelukan.
"Allah tahu kalau bufet kita udah gak muat, kayaknya harus tambah yang baru deh hehehe."
Hafy tersenyum lebar seraya menyematkan rambut Sakina ke belakang telinga. "Semoga berkah usiamu tahun ini ya, Istriku." Hafy mengecup kening Sakina dan menghirupnya lama.
Kecupan Sakina mendarat di pipi Hafy dan membangunkannya dari lamunan. "Aku pergi dulu, assalamu'alaikum."
Hafy beranjak setelah Sakina pergi dari pandangan. Dia melanjutkan pekerjaan rumah yang tertunda, tepatnya menjemur pakaian yang sudah dikeringkan oleh Sakina, mencuci piring, dan tak lupa memberi makan Grey.
KAMU SEDANG MEMBACA
Portrait of Destiny (end)
RomanceBeberapa orang datang dan pergi, tanpa tahu siapa yang akan menjadi pemilik hati. Sebanyak apapun Sakina memotret orang-orang yang pernah ditakdirkan terlintas di lensa kameranya, dia tidak pernah tahu orang mana yang akan ditakdirkan untuk menjadi...