"Sakinaa.. masukin dulu kameranya, nanti jatuh!" Seru umi tuk kesekian kalinya.
Sakina Cintami. Gadis yang baru saja jadi lulusan terbaik di SMP-nya itu enggan mendengar. Dia masih menggenggam kamera hadiah dari abi kemarin dengan tangannya. Semua momen harus diabadikan dengan baik, belum tentu bisa kembali lagi di esok hari, bukan? Pikirnya. Dia malas ribet jika harus buka tutup tas untuk mengambil kamera, yang ada malah akan kehilangan momen tidak terduga nanti. Sakina masih berdiri untuk memasukkan beberapa barang ke dalam kabin. Sementara umi dan abi sudah duduk di tempatnya.
"Sini Umi pegangin dulu kameranya," tawar umi yang masih diabaikan gadis remaja itu. Sakina hanya menggeleng ringan.
"Sorry," ucap seorang pramugara yang melewatinya dengan permisi.
Suara riuh di dalam pesawat membuat pramugara itu tak mendengar ada sesuatu yang terjatuh dari tangan Sakina. Sebenarnya punggung Sakina hanya tersenggol pelan, namun karena keseriusannya membuat dia terkejut saat punggungnya tersentuh oleh bahu si pramugara hingga kamera terlepas dari genggamannya. Umi yang melihat kejadian itu seketika tak berkutik. Sementara abi hendak bangun membantu. Sakina dengan cepat mengambil kameranya. Dia memeriksa kamera itu dengan teliti.
"Huaaaa kamera baru!!!" Jerit Sakina saat melihat lensa kameranya lecet.
Suara Sakina membuat pramugara tadi langsung menoleh dan menghampirinya kembali. "Ada yang bisa saya bantu, De?" Tanyanya lembut.
"Ganti!!!" Sakina menunjukkan kerusakan kameranya pada pramugara itu.
"Salah saya?" Tanya si pramugara bingung.
"Maaf Mas, tadi kamera anak saya jatuh karena disenggol Mas," jelas abi dengan tenang.
"Astaghfirullah, kalau gitu saya minta maaf, saya tidak sengaja. Saya kira tidak ada yang jatuh."
"Terus ini apa? Aku gak mau kasih maaf sebelum diganti. Harus ganti sekarang pokoknya!" Pinta Sakina menatap serius.
Pramugara itu terlihat sedang menahan sesuatu. Abi yang melihatnya, langsung meminta Sakina untuk duduk agar lebih tenang. "Geser dulu Mi, biar Sakina duduk di situ."
"Gak mau Abi, kamera Kina gimana?" Rutuk Sakina seraya menangis kecil.
Si pramugara dibuat semakin merasa bersalah saat melihat Sakina menangis. "Gini, saya pasti akan ganti tapi tidak sekarang. Ini kartu nama saya, di situ ada nomor saya yang bisa dihubungi kapanpun—di manapun. Maaf saya harus permisi dulu ke belakang," dia mengatupkan tangannya sebelum berlalu.
Sakina masih menangis di bangkunya seraya memegang kamera. Umi yang duduk di tengah hanya meliriknya sekilas, lalu main lihat-lihatan dengan abi. "Bi, Umi mau cerita. Minggu lalu, ada pasien Umi dateng sama anaknya yang masih balita. Terus dia suruh anaknya diem nanti jatuh, tapi anaknya gak mau denger. Eh jadi aja jatuh beneran."
Abi yang mendengar cerita umi langsung mencolek umi pelan, sebagai kode agar cerita tidak dilanjutkan. Sakina melirik umi dan kembali melihat kameranya. Dia mencoba menghidupkan kameranya namun tidak berhasil. Dia menarik napas panjang seraya berpikir. Tak berselang lama, Sakina bangkit dari tempat duduknya dan pergi menyusul si pramugara. Langkah kaki Sakina terus membawanya ke arah seorang pramugara yang baru saja keluar dari lavatory.
"Astaghfirullah," ucap pramugara itu kaget.
"Kaget kan? Sama aku juga kaget tadi pas kamu senggol, makanya kalau jalan hati-hati Mas Fayyaz! Kameraku jadi rusak. Mau aku abadikan pakai apa momen umrahku nanti?!" Sakina menggeram.
"Kalau di sini ada toko yang jual kamera, pasti saya langsung beli untuk kamu, De. Sayangnya di sini gak ada yang jual kamera," suaranya terlontar lembut.
Fayyaz—si pramugara menatap lekat mata Sakina yang mulai memerah. Bibir mungil dengan kumis tipis di atasnya masih istiqomah cemberut. Fayyaz melirik arloji, tak ada waktu untuk meladeni anak kecil yang masih mengambek ini. Sebentar lagi pesawat akan lepas landas. Fayyaz menghela napasnya. Terpaksa dia harus meminjamkan ponselnya ke gadis di hadapannya itu sebagai bentuk tanggung jawab atas ketidaksengajaannya tadi. Fayyaz meraba saku celananya dan mengeluarkan ponselnya dari sana.
"Huh.. gimana kalau saya pinjamkan kamu ponsel ini? Tapi janji harus dijaga dengan baik, nanti saya ambil lagi." Fayyaz menunjukkan ponselnya kepada Sakina.
Mata Sakina membelalak melihat ponsel yang sudah lama ia impikan berada tepat di depan matanya, seolah sedang merayunya untuk segera diambil. "Woah! iPhone 13 Pro! Ayo ambil! Ambil aja! Cepat ambil!" Suara hatinya sedang berdemo. "Tunggu! Jaim sedikit! Sok mikir-mikir dulu aja. Jangan langsung diambil!" Pikirannya ikut bicara.
"Um, nanti Mas Fayyaz pakai apa?" Tanya Sakina.
"Ada yang lain."
"Hm, oke. Aku setuju. Ini kameranya, tolong dibenerin ya!" Sakina menukar kameranya dengan ponsel Fayyaz, dan langsung berlalu. "Eh iya.." Sakina baru ingat belum berterima kasih, dia segera memutar arah tubuhnya. Namun di saat yang bersamaan kakinya malah tersandung sepatunya sendiri. Melihat Sakina yang hampir jatuh, Fayyaz pun dengan sigap menangkap tubuh Sakina dalam peluknya.
"Ap.. apa ini?" Sakina bertanya dalam hatinya seraya menatap mata Fayyaz yang teduh.
"Kamu gak apa-apa?" Tanya Fayyaz memastikan.
Sakina mengatur napasnya. Padahal dia tidak sedang berlari, tapi kenapa rasanya sulit bernapas? "Eh nggak. Thank you, Mas!" Sakina berlalu.
Fayyaz mengangguk heran. "Hati-hati," seru Fayyaz.
Setiap kali ada adegan seperti tadi di film-film, bukannya baper, Sakina malah cringe melihatnya. Tapi perasaaannya kenapa berbeda saat mengalaminya sendiri? Pikiran Sakina masih dipenuhi oleh ingatan tentang kejadian itu. Hatinya masih terasa berdebar tak karuan. Pun jantungnya yang masih berdegup hebat tak menentu. Tak lama, Sakina langsung duduk di tempatnya. Umi dan abi cukup dibuat terkejut akan kemunculannya yang tiba-tiba.
"Dari mana?" Tanya umi khawatir.
"Kenapa? Kok mukanya tegang gitu? Kamera kamu mana? Itu hp siapa?" Cecar abi yang sama khawatirnya seperti umi.
"Mas Fayyaz." Sahut Sakina sambil mencoba menenangkan diri.
"Tukeran? Kok bisa?" Kali ini umi.
"Iya Bu, selama kameranya belum bisa saya ganti, tidak apa kalau Adek ini pakai hp saya dulu untuk mengabadikan momen berharga di Mekkah nanti. Selamat menjalankan ibadah umrah ya. Sekali lagi saya mohon maaf atas ketidaknyamanannya," jelas Fayyaz yang tidak sengaja mendengar pertanyaan itu.
"Sakina," ucap umi lembut seraya mengelus jilbab si anak gadis semata wayangnya.
"Eh tidak perlu, ini bukan sepenuhnya salah kamu. Nanti kamu sendiri bagaimana kalau hp-nya dikasih ke anak saya?" Tanya abi.
"Tidak apa, Pak. Saya ada yang lain kok. Oh ya, saya boleh minta nomor telepon agar bisa dihubungi untuk penukaran kembali barangnya?" Tanya Fayyaz.
Sakina segera mengambil pulpen dan kertas dari tas kecilnya. Dia menulis nomornya di sana lalu memberikan itu kepada Fayyaz.
"Terima kasih ya, Nak." Ucap umi.
"Kembali," Fayyaz berlalu.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Portrait of Destiny (end)
RomanceBeberapa orang datang dan pergi, tanpa tahu siapa yang akan menjadi pemilik hati. Sebanyak apapun Sakina memotret orang-orang yang pernah ditakdirkan terlintas di lensa kameranya, dia tidak pernah tahu orang mana yang akan ditakdirkan untuk menjadi...