Hurt

549 62 5
                                    

Sakina menangis sendirian di bawah pohon. Langit kota senja hari masih setia menemani tangisnya. Takdir Allah memang tak pernah bisa ditebak. Saat Sakina sudah bisa melupakan Fayyaz dalam harinya, Allah justru kembalikan sosok Fayyaz muncul di hadapannya lagi dengan keadaan yang berbeda. Fayyaz menikahi sahabatnya sendiri tanpa ia tahu dan dia menjadi bidan yang membantu kelahiran putra mereka.

"Aku dan Mas Fayyaz sebenarnya sudah di perjalanan ke rumah sakit untuk operasi sesar, tapi ... jadi melahirkan di sini. Terima kasih ya, Sakina."

Mungkin inilah jalan takdir agar mereka bertemu dan saling mengenal wajah satu sama lain untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun berteman di media sosial.

Hulya menjadi pasien terakhirnya di hari itu. Sakina tidak langsung pulang ke rumah. Dia malah ke sini. Entah kenapa hutan kota menjadi tempat pelarian Sakina atas sedihnya. Sebuah kamera dibiarkan tergeletak begitu saja di sebelahnya.

Miaw ...
Miaw ...

Cakar mungil milik kucing abu-abu menarik-narik neck strap kameranya. Sakina menoleh, namun kucing itu sudah berhasil membawa kameranya pergi.

"Hey Grey! No no no! Grey, kembalikan! Hey jangan lari!" Seorang pria mengejar si kucing abu-abu, dan dapat.

Pria itu menggendong kucingnya sembari memastikan keadaan kamera Sakina yang habis terseret-seret di atas aspal. Dia berjalan santai ke arah Sakina. Cepat-cepat Sakina mengelap matanya yang basah.

"Aku minta maaf atas kenakalan kucingku, ya ..." dia mendongak.

Matanya menatap tepat di bola mata Sakina yang kecoklatan. Dia tertegun sejenak seraya menelan ludah. Pun Sakina yang menunjukkan ekspresi serupa.

Sakina tahu siapa dia. Seseorang yang sebulan ini menjadi objek kameranya. Seseorang yang pertama kali menjadikan karya jepretannya menjadi foto profil di Instagram. Seseorang yang tampak sangat gagah saat melakukan smes di tengah lapangan.

Hafy.
Kini dia berdiri tepat satu meter di hadapan Sakina.

"Gak apa-apa," sahut Sakina tanpa mengambil kameranya di tangan Hafy.

"Tapi kameramu mati. Ini pasti berharga buat kamu, kan? Aku janji akan perbaiki. Nomor ponsel kamu berapa? Nanti aku hubungi kalau sudah selesai." Hafy melihat sisa air mata di sudut pelupuk Sakina sambil meraih ponsel di saku.

"Gak perlu, malah bagus kalau kameranya rusak," tolak Sakina.

"Eh jangan gitu, aku jadi gak enak. Ini kartu namaku. Barangkali nanti kamu berubah pikiran bisa hubungi ke nomor itu," Hafy mengambil kartu nama dari case ponselnya untuk Sakina.

Tangan Sakina tak tergerak sedikit pun. Suasana hatinya jadi semakin rusak karena sikap Hafy itu. Kenapa sosok Hafy malah menyebalkan seperti ini? Pikirnya.

"Ih gak usah! Saya kan udah bilang gak apa-apa!" Bentak Sakina.

Hafy tersentak kaget. Dia memicingkan matanya. "Astaghfirullah. Ya kalem aja kali Mbak, saya juga kan gak maksa."

"Ya terus tadi itu apa namanya kalau gak maksa, Mas?" Ketus Sakina. "Anyway, thank you kucing manis!" Sakina mengusap pelan kepala kucing itu sebelum pergi.

Hafy terdiam memandangi kepergian Sakina. "Hiiii ternyata galak banget orangnya, Grey. Tapi ... sama kamu kok nggak, ya? Curang kamu, Grey!" Hafy menurunkan kucingnya dari gendongan.

Perputaran waktu telah menyeret langit ke dalam kegelapan. Sakina tiba ke rumah setelah orangtuanya selesai makan malam. Dia memang mengirim pesan agar mereka tidak menunggunya. Sakina menaiki anak tangga rumahnya menuju kamar. Rasanya ingin cepat-cepat merebahkan diri di atas kasur karena hari ini terasa begitu melelahkan baginya.

Portrait of Destiny (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang