Sakina Cintaku

661 70 11
                                    

Hutan kota waktu itu terasa berbeda. Seseorang hadir bagai penghilang dahaga. Gadis cantik dengan sweater rajut yang sedang meneguk minuman di bawah pohon mencuri perhatiannya-padahal ia sedang dikelilingi banyak wanita yang sibuk meminta foto bersama. Mulai hari itu hutan kota begitu istimewa baginya.

Sampai tiba suatu hari membawanya berinteraksi langsung dengan si gadis karena ulah nakal kucingnya. Gadis kamera yang selalu dilihatnya dari jauh sedang sibuk memotret di hutan kota, gadis yang selalu saja tiba-tiba menghilang setiap kali ia ingin mendekat. Kini dia tidak perlu mengejar atau mencari jejak gadis itu lagi karena jarak mereka yang hanya satu meter.

"Akhirnya bisa sedekat ini juga," gumamnya dalam hati sambil tercengang.

Namun percakapan mereka malah berujung debat. Mungkin belum tepat saatnya untuk mereka mengenal lebih dekat. Hingga tibalah hari ini. Hari di mana dia memberanikan diri untuk melamar gadis incarannya itu. Sakina, namanya.

"Sebentar Umi panggilkan Sakinanya dulu ya," umi berlalu menuju kamar Sakina.

Sakina yang baru saja menyelesaikan salat Duha-membiarkan umi masuk ke kamarnya.

"Kina ... ada yang lagi nunggu kamu di bawah. Dia datang sama Om dan Tantenya. Sekarang lagi ngobrol sama Abi," ujar umi seraya duduk di atas kasur.

Tak ada raut senang yang tergambar di wajah Sakina untuk menyambut ucapan umi barusan. Dia hanya tidak berani berharap lagi karena takut dikecewakan oleh kenyataan seperti yang sebelum-sebelumnya.

"Untuk saat ini sepertinya Sakina belum siap mendengar kalimat penolakan, Mi," elak Sakina.

Ada rasa sedih yang meresap ke relung hati umi. Umi juga tidak bisa mendesak di tengah keadaan Sakina saat ini. Terpaksa dia harus turun dengan tangan kosong.

"Maaf Nak, tapi Sakina ..."

"Um ... apa boleh saya bicara langsung dengan Sakina?" Pintanya dalam tanya.

Abi dan umi saling pandang sebelum akhirnya memberi persetujuan. Mereka mengantar pria itu menuju depan kamar Sakina yang tertutup.

"Kina, dia mau bicara sama kamu," terang abi.

Sakina yang mendengar itu dari dalam kamarnya langsung mendekat ke pintu. Tak mungkin juga dia mengusir pria yang telanjur menghampirinya sampai ke sini. Sakina tidak ingin basa-basi lagi, dia ingin jujur akan kondisinya, dia ingin yang akan menjadi suaminya kelak bisa menerima dirinya.

"Aku ingin tanya satu hal. Apa ... apa pendapatmu ... tentang wanita yang pernah ... di ... diperkosa?" Berat sekali rasanya menyebutkan kata terakhir, bahkan Sakina mengucapnya dengan air mata yang tumpah di pipi.

Pertanyaan yang terlontar dari Sakina tadi mengejutkannya. Seketika dia menatap umi dan abi. Air mata umi dan tundukan abi menjadi jawaban yang cukup bisa ia simpulkan.

"Apa kamu pernah diperkosa, Sakina?"

Suaranya tak asing di telinga Sakina. Sakina mengenal baik suara itu. Suara milik pria yang tiba-tiba muncul di depan rumahnya dengan kemeja kotak-kotak beberapa waktu lalu. Sakina yang masih mengenakan mukena-segera membuka pintu kamarnya yang membuatnya langsung berhadapan dengan pria itu.

"Hafy?"

Sakina terkejut-tak menyangka Hafy seserius ini dengannya. Sementara Hafy menatap sendu mata Sakina yang basah.

"Apa kamu pernah diperkosa, Sakina?" Tanyanya sekali lagi.

Sakina diam seribu bahasa. Pertanyaan Hafy membuatnya kembali meneteskan embun dari pelupuknya. Sakina benar-benar malu di hadapan Hafy. Dia tak kuasa menahan emosi dan membiarkan air matanya yang berbicara.

Portrait of Destiny (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang