Gadis Kamera

588 65 1
                                    

Pagi yang mendung di hari Minggu paling pas diisi dengan secangkir teh jahe dan sebuah buku. Sakina sedang melahap lembar-lembarnya sambil sesekali meneguk teh yang masih hangat. Rintik hujan yang turun satu persatu menarik pandangannya. Hawa dingin mulai merasuk—membuat Sakina beranjak dari kasur untuk menutup jendela kamar.

Sekilas matanya melongok ke bawah karena sayup-sayup terdengar suara salam. Ada seseorang yang tampak dari belakang. Tubuhnya tinggi dan memakai kemeja kotak-kotak. Siapa dia? Sepertinya Sakina tidak kenal.

Sakina segera ke lantai bawah untuk memberitahu abi lalu kembali ke kamar menghadap bukunya.

"Kina!" Panggil abi di balik pintu kamarnya.

Sakina membuka pintu. "Kenapa?"

"Tamunya mau ketemu sama kamu. Mau balikin barang katanya," abi berlalu ke dapur untuk membuatkan minuman.

"Hah? Siapa?" Sakina melongo.

Sakina tidak pernah merasa meminjamkan barang kepada siapapun. Sepanjang jalan menuju si tamu benaknya penuh kebingungan. Sakina merapikan jilbabnya dan tak lama langkahnya telah sampai.

"Hafy?" Ucapnya spontan.

Tamu yang ternyata Hafy itu dibuat heran. Dia pikir Sakina tidak mengenalnya.

"Kamu tahu aku?" Tanyanya dengan senyum lebar.

Bodoh banget Sakina! Bagaimana jika ketahuan kamu pernah jadi paparazi Hafy? Aduh! Jangan sampai! Itu tidak boleh terjadi. Hatinya berdemo atas keceplosannya barusan. Dia tak tahu harus bersikap apa selain pergi ke kamar. Ya. Sakina benar-benar masuk ke dalam meninggalkan Hafy sendiri. Bahkan dia mengunci pintu rumahnya. Dia melangkah cepat sampai menabrak tubuh umi.

"Sakina hati-hati!"

Umi hendak pergi ke klinik. Dia membuka pintu dan terkejut mendapati Hafy yang berdiri di sana.

"Cari siapa ya?" Tanya umi yang belum tahu.

"Gadis kamera. Eh ma ... maksudnya yang tadi," sahut Hafy gelagapan.

"Sakina?"

Oh namanya Sakina.

"Iya Bu. Tapi sepertinya Sakina lagi sibuk. Nanti saya balik lagi aja. Permisi. Assalamu'alaikum," Hafy berlalu dengan mobilnya.

Abi yang baru saja datang dengan nampan berisi segelas teh dibuat celingukan mencari Hafy.

"Loh tamunya mana?" Tanya abi kepada umi yang masih di depan pintu.

"Baru saja pergi. Siapa ya, Bi? Kaya kenal wajahnya."

"Iya kaya gak asing. Eh Umi udah rapi? Sebentar Abi siap-siap dulu, ya."

Sementara Sakina masih mengintip kepergian Hafy yang sudah hilang dari jendela kamarnya. Dari mana Hafy tahu alamat rumahnya dan untuk apa dia datang ke sini?

"Bikin kaget aja," Sakina menghabiskan tehnya hingga tetes terakhir.

Dia kembali membaca lanjutan halaman bukunya. Semenit berlalu Sakina membaca tanpa memahami makna yang tertera. Ternyata Hafy telah mencuri fokusnya kala itu. Dia masih memikirkan Hafy yang tiba-tiba datang ke rumah.

Abi bersiap untuk mengantar umi ke klinik. Namun sebuah pesan dari nomor tidak dikenal masuk ke ponselnya.

Assalamu'alaikum Pak. Ini saya Hafy yang barusan ke rumah. Maaf tadi hanya pamit sama Ibu. Saya belum sempat mengembalikan barang Sakina karena Sakina sedang sibuk. Insyaa Allah kapan waktu saya mampir ke rumah Bapak lagi. Kalau Sakina luang tolong kabari ya, Pak. Terima kasih.

Ternyata Hafy sempat mengobrol dengan abi dan meminta nomor telepon, namun dia lupa bertanya nama Sakina ke abi sampai akhirnya dia tahu dari umi.

Tujuh hari berlalu. Setiap hari Hafy bertukar kabar dengan abi. Lebih tepatnya Hafy yang menanyakan kabar dan abi membalasnya hingga mereka cukup akrab karena komunikasi yang terjalin. Hafy meminta izin untuk datang kembali. Kabar ini langsung disampaikan abi kepada Sakina.

"Loh Abi tau dari mana Hafy mau ke sini?" Tanya Sakina auto-panik.

"WhatsApp. Ternyata dia bekas pasien Abi. Waktu itu kakinya pernah cedera karena tanding badminton. Pantas saja Abi gak asing sama wajahnya. Umi juga pernah nonton pertandingannya secara langsung. Kalian kenalan di mana?"

Sakina kehilangan kata-kata. Dia tidak menduga Hafy meminta nomor abi. Apa karena penolakan Sakina untuk memberikan nomornya saat di hutan kota waktu itu?

"Belum sempat kenalan. Tolong bilang aku mau pergi ya, Bi. Jadi dia gak perlu ke sini. Dan soal barang itu, aku gak ingat pernah tinggalin barang apapun."

Tentu saja itu hanya sebuah alasan untuk menghindari pertemuan dengan Hafy. Abi saja perlu waktu sekian detik untuk mencerna ucapan anaknya barusan.

Sejujurnya Sakina hanya tak ingin berinteraksi dengan Hafy setelah terakhir pertemuan mereka di hutan kota yang berhasil membuatnya sebal. Terlebih saat Sakina keceplosan tahu nama Hafy. Malu dan malas bercampur jadi satu.

"Katanya dia tetap datang meski tanpa kamu. Mau ngobrol sama Abi dan umi."

Tunggu dulu! Hafy mau bicara apa sama abi dan umi? Kenapa Hafy tak henti-henti membuatnya resah? Tapi ya sudahlah. Dia akan tetap pergi.

Zal, bisa temenin gue jalan gak siang ini?

Sakina mengirim pesannya. Selang semenit dia mendapatkan balasan dari Zalia.

Tadinya gue sama Jac mau ajak lu ke perpustakaan terbaru, eh lu juga ngajak. Yaudah siap-siap, nanti dijemput.

Hati Sakina bersorak senang membaca chat itu. Karena sekarang tak mudah lagi mengajak Zalia pergi seperti dulu.

Sakina sudah pergi sebelum Hafy datang. Sampai-sampai berhasil membuat mata Hafy mencari-cari bayangannya begitu sampai ke rumah.

"Sakina sudah pergi sejak tadi," jelas abi yang seakan tahu maksud Hafy bolak-balik ke rumahnya.

"Gak apa-apa kok Pak."

"Panggil Abi saja," pinta abi dengan ramah.

"Oh siap Bi. Abi bisa main catur? Sudah lama saya tidak main karena latihan badminton, jadi lupa lagi caranya hehehe."

"Kalau gitu ayo main. Sebentar Abi ambilkan dulu ya," abi pergi mencari papan catur.

Setelah itu mereka bermain sambil asyik bercerita tentang banyak hal sampai tawa memecah di sela-sela permainan. Sesekali menikmati kopi jahe hangat buatan umi.

"Kapan-kapan ajari Abi main badminton, ya? Kita atur waktu nanti."

"Siap Bi. Wah saya hampir checkmate nih. Jago juga Abi mainnya," puji Hafy diakhiri tawa.

Tak terasa waktu hampir membuat langit meredup. Terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah dan tetiba suara salam menghentikan canda tawa di ruang tamu.

"Wa'alaikum salaam," Hafy menoleh ke sumber suara.

Sakina. Dia sudah pulang. Sakina memandang Hafy sejenak. Wajahnya berubah masam meski tampak sedikit senyum di sana.

"Loh belum pulang?" Tanya Sakina spontan.

"Eh kok gitu tanyanya?" Umi melotot ke arahnya.

Sakina mendengus sebal. Ini Hafy yang memang sengaja menunggu atau Sakina yang pulang terlalu cepat? Hafy juga malah akrab dengan abi dan umi. Bagaimana ini? Bukan begini seharusnya! Dasar pandai bermain strategi sampai strategi PDKT pun dibabat habis oleh Hafy.

"Duduk dulu," pinta abi.

Sakina menurut dan langsung duduk di sebelah umi, tepatnya di hadapan Hafy.

"Mana barangku yang katanya tertinggal?" Tangan Sakina terulur.

"Aku lupa bawa barangnya. Next time aku balik lagi, ya." Hafy tersenyum lembut menjawab pertanyaan Sakina yang ketus.

WHAT? NEXT TIME? Itu berarti akan ada pertemuan selanjutnya dengan Hafy? Padahal Sakina berharap ini adalah pertemuan terakhir dengannya.

Tapi mengapa selalu ada kesempatan yang mendekatkan Hafy dengan Sakina di kala Sakina selalu punya alasan menjauh setiap kali Hafy ingin bertemu? Apakah ini sebuah kebetulan atau memang sudah skenario-Nya?

Bersambung...

Portrait of Destiny (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang