Fayyaz Rayanza. Pramugara muda berwajah tampan itu sedang prepare makanan untuk flight selanjutnya di galley. Seorang teman datang menghampirinya untuk menanyakan mengapa nomornya tidak aktif. Setelah berpikir sejenak, Fayyaz baru ingat kalau dia lupa meminta ponselnya kembali dari Sakina.
Sakina. Lagi-lagi gadis itu membuat Fayyaz tersenyum jika mengingatnya. Sakina di matanya terlihat seperti anak SMP karena wajah polosnya yang imut apalagi jika dia cemberut. Perkiraan Fayyaz hanya meleset sedikit, saat ini Sakina sudah duduk di bangku SMA. Kadang Fayyaz berpikir dirinya sudah gila karena berhasil dibuat seperti itu oleh Sakina-meminjamkan ponsel, memperbaiki kamera, menyusul ke Dubai, menjadi fotografer dadakan, semua itu adalah hal konyol yang tak pernah dia duga akan dia lakukan untuk seseorang, tapi demi seorang Sakina dia sudah melakukan semuanya.
Assalamu'alaikum De, Sabtu ini saya ingin ambil hp. Boleh saya minta alamat kamu? -Fayyaz
Fayyaz mengirim pesan itu ketika pesawat telah mendarat.
Wa'alaikumussalaam, kacamata Mas juga masih di aku. Ini ya alamatnya.
Fayyaz membaca balasan dari Sakina, lalu kembali pada tugasnya. Pandangannya mengitari ruang pesawat yang mulai terisi satu persatu manusia. Tak lama pesawat terbang menembus awan, lalu hilang sampai tujuan. Mata Fayyaz sudah sangat akrab dengan langit, awan, dan serba-serbinya yang memesona. Dia selalu berharap mereka senantiasa bisa diajak bersahabat agar menemaninya hingga selamat.
Adanya Fayyaz di sana tak lepas dari doa dan usaha sang ibu yang berjuang untuk anak kembarnya-Fayyaz dan Fayra. Ayah sudah lama meninggal, tepatnya 12 tahun yang lalu, saat si kembar Fayyaz dan Fayra berusia 10 tahun. Beruntung ibu memiliki relasi yang luas untuk melebarkan sayap bisnisnya. Sampai saat ini ibu masih gagah menjadi pengekspor tas batik ke negara-negara Eropa.
Waktu terus berdetik membawa Fayyaz sampai di hari Sabtu. Sesuai rencana, dia akan datang ke rumah Sakina, meski rumah Sakina terbilang cukup jauh dari rumahnya. Perjalanan ibu kota masih sama ramainya seperti hari biasa. Motornya terus melaju melewati gedung-gedung yang dari waktu ke waktu selalu bertambah jumlahnya.
Tibalah Fayyaz di sebuah rumah bernuansa hijau-rimbun dengan tanaman yang meneduhkan. Fayyaz langsung masuk ke depan pintu yang masih tertutup karena rumah Sakina tidak berpagar. Rupanya di balik sana sudah ada Sakina yang menunggu sejak lama.
"Assalamu'alaikum," sapa Fayyaz.
"Wa'alaikumussalaam," Sakina membuka pintu tanpa melihat siapa yang datang. Dia salim dan baru tersadar setelah melihat tangan yang dipegangnya bukanlah tangan abi.
Fayyaz yang saat itu masih terpaku akan sikap Sakina terlebih melihat Sakina yang anggun dengan rambut panjang tergerai hanya diam seribu bahasa. Sakina mendongak, menatap Fayyaz.
"Eh Mas Fayyaz," ucap Sakina kaget.
Fayyaz tersenyum seraya menunjuk rambut Sakina. Sakina meraba kepalanya. Jilbab! Ah iya dia lupa pakai jilbab. Sakina langsung berlari ke dalam dan kembali dengan rambut yang sudah tertutup jilbab merah, senada dengan kemeja yang Fayyaz kenakan saat itu.
"Maaf aku kira Abi," ungkap Sakina canggung. Pandangan Sakina mengitari sekeliling seperti sedang mencari sesuatu. "Pesawatnya diparkir sebelah mana Mas?"
Fayyaz menahan tawanya dengan rasa heran. Hidungnya terlihat kembang kempis. Kenapa Sakina bisa melucu seperti ini?
"Mana?" Tangan Fayyaz terulur. Dia tidak ingin basa-basi.
![](https://img.wattpad.com/cover/246312875-288-k754770.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Portrait of Destiny (end)
RomanceBeberapa orang datang dan pergi, tanpa tahu siapa yang akan menjadi pemilik hati. Sebanyak apapun Sakina memotret orang-orang yang pernah ditakdirkan terlintas di lensa kameranya, dia tidak pernah tahu orang mana yang akan ditakdirkan untuk menjadi...