Dekade

611 62 1
                                    

Lamunannya terbangunkan oleh suara air yang terus berjatuhan dari dispenser. Perempuan dengan cardigan putih itu segera mengambil gelasnya dan berjalan ke arah meja.
Di sana tampak tegak berdiri sebuah nama.

Bd. Sakina Cintami, S.Keb

Butuh waktu lima tahun bagi perempuan bernama Sakina itu melewati tahap akademik dan tahap profesi kebidanan di sebuah universitas negeri di Malang sampai ia menjadi seorang bidan seperti sekarang.

Sakina menatap pigura dirinya dengan Fayyaz di atas meja. Senyuman lebar wajah dua insan yang berbahagia saat perayaan wisuda sekaligus ulang tahun Sakina di potret itu menularkan sesimpul senyum di bibirnya. Sebuah momen indah terakhir yang ia rayakan bersama Fayyaz.

"Dua tahun berlalu, tapi kenapa rasa itu gak pernah berhenti untuk kamu?" Gumamnya dalam diam.

Genap satu dekade hatinya terisi penuh dan tetap setia pada satu nama meski banyak pria yang mencoba mencurinya. Fayyaz Rayanza menjadi pria pertama yang dicintainya. Ketika dia meminta Sakina untuk menjadi Sakinanya sepuluh tahun lalu, itu adalah ya yang paling mudah yang pernah Sakina katakan.

Kornea Sakina mulai terasa pedih. Mesin waktu seolah membawanya kepada kenangan masa lalu.

Sakina sempat dihantui rasa trauma setelah pasien pertamanya meninggal dunia, meski bukan karena kesalahannya. Dia menjadi kesulitan untuk menyesuaikan diri hingga seiring berjalannya waktu dia kembali berhasil menangani persalinan tanpa perasaan takut, tepat dua tahun lalu yang bersamaan dengan hari anniversary hubungan mereka yang genap sewindu.

Malamnya Sakina dan Fayyaz bertemu di Lapangan Banteng seraya menikmati pertunjukan air mancur menari. Sakina begitu antusias menyampaikan kabar bahagianya itu kepada Fayyaz di sela pertemuan.

"Aku mau ngomong Mas."

"Aku juga," sambar Fayyaz.

Sakina melebarkan senyumnya. "Kalau gitu barengan ya ... satu, dua, tiga! I did it!"

"Nikah yuk! Jadi istriku seutuhnya and let me be your man to fully, my Sakina."

Berbeda dengan Sakina, di saat yang bersamaan Fayyaz malah mengajaknya menikah. Bukannya senang, senyum di bibir Sakina malah tampak memudar. Dia dibuat ternganga kaget sebelum akhirnya kembali bicara.

"Mas, kamu kok ngajak nikah kaya ngajak makan sih?" Sakina mengalihkan pandangannya dari Fayyaz.

"Hehe, maaf bikin kamu terkejut. Tapi ini sudah jadi bagian dari rencana kita, bukan? Jadi, mau ya?" Fayyaz sudah memikirkannya masak-masak.

Sesaat Sakina terdiam sembari menatap langit. Ternyata menjalani realita tidak semudah berbicara. Sakina merasa belum cukup siap untuk menikah. Dia baru saja menikmati profesi barunya dan dalam waktu dekat ini dia akan menjadi relawan ke daerah Lumajang, di lain sisi begitu banyak resiko yang ia takutkan di dalam suatu pernikahan, terutama melahirkan. Entah mengapa setelah menangani proses persalinan yang traumatis secara langsung, Sakina menjadi hilang berani untuk merasakannya sendiri. Lagipula, dia tidak bisa membayangkan menikah di usia muda. Menurutnya, 23 tahun masih belia untuk menjalani pernikahan.

Sontak Sakina mengakuinya. "Sebenarnya, aku ada rencana menjadi relawan ke Lumajang sampai keadaan di sana membaik."

"It's oke, kita urus pernikahannya setelah kamu kembali."

"Tapi ... aku belum siap, Mas," Sakina menggeleng ringan.

Terang saja Sakina menolak. Dia termangu dalam-dalam seolah menjenguk masa depannya. Pikirannya melayang ke kehidupan setelah pernikahan yang membuatnya semakin yakin bahwa dia belum siap.

Portrait of Destiny (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang