Hidup di Hidupmu

610 73 5
                                    

Matahari siang sedang terik-teriknya. Sepasang pasutri yang baru saja bertaut dalam akad sedang melakukan perjalanan selepas Zuhur tadi. Sebuah mobil konvertibel membawa mereka menuju vila tersembunyi di sudut daerah pesisir. Mereka menyantap perjalanan panjang ini sambil bertukar cerita.

"Kata umi dan abi, kamu sedang menghadapi masalah yang besar ... dan aku jadi tahu masalahnya setelah kamu menanyakan hal itu. Betapa beruntungnya aku mendapat istri yang begitu kuat seperti kamu. Di saat banyak orang putus asa dan memilih untuk mengakhiri hidup ketika dapat ujian seperti ini, tapi kamu malah semakin mendekat dengan Allah. Sakina Cintaku ... aku harap rasa trauma itu semakin memudar seiring berjalannya waktu kamu bersamaku, ya?"

Dia menjatuhkan tangannya di atas tangan sang istri lalu membawanya menuju kecupan. Sejujurnya Sakina sudah tidak ingin lagi menangis. Lelah rasanya menumpahkan air mata yang tetap saja tidak dapat mengubah apa-apa. Namun ucapan suaminya barusan begitu menyentuh hingga air itu menderas dengan sendirinya.

"I'm so grateful to live in your life, Mas Hafy."

Hafy melirik Sakina dengan senyumnya. "Um ... sebenernya aku lebih suka dipanggil Haf sama kamu."

"Kenapa gitu?"

"Di antara kita gak ada keturunan Jawa, kan?"

"Oh, kirain karena ...."

"Memang kamu pikir karena apa?"

"Eh ... gak apa-apa."

Duh Sakina. Kenapa harus teringat Fayyaz di momen ini? Bisa senjata makan tuan kalau sampai Hafy tahu.

"Ah ... kamu panggil Fayyaz Mas, ya?"

Tuh kan. Hafy mengeluarkan jurus jail yang sebenarnya hanya topeng untuk menutupi cemburu. Tapi Sakina risih. Rasanya ingin sekali tahu siapa mantan Hafy agar dia bisa membalas ulah suami jailnya itu.

Perjalanan mereka yang ditemani pemandangan kota kini telah memasuki pedesaan yang teduh. Mobil Hafy terhenti di sebuah tempat. Jalan setapak di beberapa titik mengharuskan mereka untuk berganti kendaraan.

"Hayu Teh," seorang bapak sudah siap dengan motornya.

"Um Pak ... satu motor saya yang kendarai, ya. Satunya lagi untuk bawa barang-barang saya dan istri," sanggah Hafy seraya mengulum senyum.

"Oh kitu. Nya atuh mangga Aa pakai motor abdi wae."

Walaupun tak tahu artinya, tapi Hafy paham maksud bapak itu. Hafy pun membonceng Sakina hingga ke vila. Tangan Sakina sudah melingkar di perut Hafy. Sepanjang jalan mereka disambut riuh semesta yang memanjakan mata.

"Sebentar lagi sampai hidden gems yang aku maksud."

Hafy menoleh dan membuat hidung mereka saling beradu. Sakina refleks memundurkan wajahnya. Lalu menjatuhkan pipinya di punggung Hafy seraya menikmati potongan langit yang menjingga pekat.

Di ujung pandang mulai tampak vilanya. Hafy menunjuk penuh antusias. Akhirnya perjalanan mereka sampai juga di tujuan. Hafy membantu bapak tadi untuk menurunkan barang-barangnya. Kemudian si bapak pulang ke tempat semula.

Kini tinggal mereka berdua. Sebuah vila berdinding kayu sudah menunggu. Dua pasang kaki memasuki vila sambil menyeret koper. Pandangan Sakina teralih pada pemandangan belakang vila yang menghadap langsung ke pantai. Sakina meletakkan kopernya di ruang depan dan dilanjutkan Hafy sampai ke kamar. Tak lama dia menyusul Sakina yang sudah berdiri memandangi pesona senja menggurat langit pantai. Dilihatnya Sakina yang hendak mengambil foto selfie dengan gawai. Dia mempercepat langkahnya agar terabadikan dalam satu bingkai bersama wanitanya di sana.

1 ... 2 ... 3.

Kedua tangan masuk ke saku, tubuh sedikit membungkuk, mata kanan mengedip. Dan ... cekrek. Tawa Sakina pecah seraya menutup wajah Hafy dengan tangan kanannya.

"Ganggu deh."

"Kita gak mau istirahat?" Hafy menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Sakina menggosokkan tangan untuk meredakan ketegangan yang sebenarnya sudah merayapi hati sejak tadi. Semakin dekat dia dengan vila, pikiran itu semakin menyeruak. Hafy menggenggam jemari Sakina dan menuntunnya ke kamar.

"Tangan kamu dingin banget. Kamu gak apa-apa?" Hafy mencari netra Sakina yang tampak menghindarinya.

Sepasang kelopak Sakina terpejam. Dia menggeleng dan mengembuskan napas pelan. Mereka sudah di dalam kamar. Sebuah kasur putih yang empuk telah menanti lama. Sakina mendongak. Ia temui mata Hafy yang tak berpaling darinya. Ia perhatikan wajah Arab yang dihiasi kumis dan brewok lalu menekuri cincin yang tersemat di jari manis mereka.

"Masih belum sadar aku suami kamu, ya?" Hafy merengkuh tubuh mungil Sakina.

Spontan Sakina mendorong tubuh Hafy hingga terpental ke kasur. Hafy tersentak menahan sakit.

"Ya Allah ma ... maaf, maaf. Kekencangan. Sakit, ya? Sebentar, aku ambil minum," Sakina membantu Hafy untuk duduk kemudian beranjak.

Hafy menahannya. "Duduk dulu."

"Aku cuma mau mengasah kemampuan silatku. Udah lama gak ada lawan buat diajak latihan. Kaya gini nih," Sakina menggerakkan tangannya kesana-kemari.

"Oke. Ayo lawan aku!" Hafy berdiri tegap.

Sakina tertantang dan langsung bersiap dengan posisinya. Dia mulai menyerang Hafy dengan jurus-jurusnya yang berkali-kali berhasil ditepis Hafy.

Hafy menurunkan tangan Sakina. Dia seakan tahu kalau Sakina hanya mencoba mengulur waktu. Tetiba Sakina menangis. Hafy membawanya ke dalam pelukan.

"Ini gak bisa didiemin. Kamu gak boleh tersiksa seperti ini terus. Aku harus cari orang itu. I know you're not. Hey ... it's okay. Kalau kamu belum siap aku gak akan maksa. Bahkan kalau kamu gak nyaman lepas jilbab di depan aku, kamu gak perlu lakuin itu untuk aku. Senyamannya kamu aja, oke?"

Sakina ternganga. Ternyata Hafy orang yang begitu baik dan tulus. Berhasil membuatnya kuat di saat kenyataan melemahkannya. Membuatnya merasa sempurna di saat dirinya justru bergelut dengan ketidaksempurnaan. Sakina sungguh-sungguh terperangkap oleh rasa trauma yang memenjaranya dari keberanian. Namun Hafy merangkulnya yang seolah terkucil oleh pergulatan batinnya sendiri. Dia melepaskan pelukannya sambil menatap Hafy.

"Haf, kamu ini manusia, kan? Aku menikah dengan sosok manusia, kan?"

Hafy tersipu sampai giginya terlihat. "Bisa aja Bu Bidan."

"Aku percaya dalam sebuah hubungan yang didasari cinta, orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak akan saling menjadi penuntut sempurna atau pengkritik hebat, tapi akan selalu hangat mendampingi dan mendukung agar saling menjadi lebih baik di setiap harinya," lanjut Hafy sembari mengusap pasmina biru Sakina.

"You complete me, thank you Haf ..."

Waktu melaju ...

Udara dingin merambati tubuhnya yang sedang berpijak menghadap pantai. Lembut meski sesekali menusuk. Matahari belum terjaga dari redupnya fajar. Dia sudah di sini sejak tadi untuk menyaksikan cahaya yang terbangun.

Dia merasakan kehadiran seseorang di sebelahnya. Ada Sakina yang sedang menghirup alam dengan mata terpejam. Seketika pandangannya menetap di wajah Sakina. Tangannya menyibak rambut panjang istrinya yang tersapu angin.

"Gak dingin?" Tanyanya sembari menjalarkan pandangan pada Sakina yang saat itu hanya mengenakan piama tanpa jilbab.

Sakina membalasnya dengan gelengan. Kemudian kepala Sakina merebah di bahunya yang gagah.

Dia melihat sebuah pesawat melintas. Segera dia menarik Sakina bersembunyi di balik jaketnya dan membawanya berjalan sampai masuk ke dalam. Sakina yang terkejut sekaligus bingung hanya bisa menurut.

"Ada siapa sih? Kan hanya kita berdua di sini." Kepala Sakina nongol dari sela jaketnya.

Hafy nyengir. "Kata siapa? Bagaimana kalau ada yang lihat dari udara? Pramugara misalnya."

"Karena pesawat lewat itu? Haf ... aku sama Fayyaz memang pernah ada hubungan. Tapi delapan tahun gak ada apa-apanya di banding hidup sama kamu. Jangan gini lagi, ya?" Sakina mengusap pipi suaminya yang brewok itu lalu pergi ke dapur untuk membuat sarapan.

Bersambung ...

Portrait of Destiny (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang