Selalu ada resiko di balik setiap perbuatan. Tapi mengapa resiko tetap harus diterima padahal perbuatannya tidak pernah dilakukan? Bagaimana bisa Hafy berbuat seperti itu pada Sakina, sementara memandang perempuan saja dia tak bisa bertahan lama? Bahkan dia amat menjaga sentuhnya dari yang bukan mahram. Rasanya mustahil.
Lalu siapa pelaku sebenarnya? Kenapa headband Hafy bisa ada di tangan pria itu untuk membius Sakina?
Sakina adalah satu-satunya perempuan yang mengisi tempat di hati Hafy setelah ibunya. Sebelum bertemu Sakina, Hafy hanya fokus pada tanggung jawabnya sebagai seorang atlet. Kemudian tanggung jawab itu terbagi setelah ia menikah sesuai dengan porsi yang sepantasnya.
Hafy masih memandangi surat dari pengadilan agama di sudut belakang rumah—ditemani recik hujan yang berjatuhan ke kolam renang. Tanggal yang tertera di kertas putih menarik penuh sorot matanya. Dia tidak bisa menghadiri persidangan karena bertepatan dengan turnamen di Istora Senayan.
Ya Allah. Desahnya pelan.
Hari bergilir menyeret Hafy pada tanggal tersebut. Hafy sudah berdiri tegak di tengah court. Dia mencoba untuk tetap fokus, meskipun masalah menumpuk di kepala. Ribuan mata menangkapnya, dia harus melakukan yang terbaik. Namun harapannya melesat bersama tubuhnya yang terjerembap. Hafy sulit untuk bangkit karena kakinya begitu sakit. Sorak penonton yang kecewa—menemani kegagalannya hari itu.
Di sisi lain ada Sakina yang menjalani kekeringan harinya selama beberapa minggu ini tanpa Hafy. Batinnya terasa kosong namun penuh dengan benci. Meskipun di bagian terdalamnya masih tetap seperti hari lalu—yang mendamba Hafy sebagai kekasih hidupnya sampai akhir. Pikiran Sakina terus melayang di sela kesepian. Kenangan bergulir—berlintasan dalam benaknya.
Vila pagi itu berkabut dingin. Sesekali Sakina menggosok tangannya untuk menghalau hawa yang menggigit, sementara Hafy memandangi wajah istrinya yang terpantul di jendela.
"Masya Allah nikmat banget ya, lihat pemandangan full senyum di wajah istri sendiri," gurau Hafy padanya yang sedang berselimut sambil merekam panorama pantai di seberang mata dengan netranya.
Spontan Sakina menutup mata Hafy kemudian merebahkan kepala suaminya itu di atas kakinya yang terjulur.
Lalu kenangan lainnya menyambar Sakina yang masih melamun saat melangkah pulang dari persidangan yang ditunda.
Suara cekikikan Hafy ketika mengudarakan tubuhnya seiring angin yang berembus di tepi pantai pun abadi dalam ingatan. Satu lagi yang teramat membekas—ialah kenangan terakhir sebelum malam anniversary itu terjadi. Mereka sempat mengisi hari di waktu libur untuk naik parasailing berdua. Hafy dan Sakina yang sama-sama pecinta laut sangat antusias memandang samudra biru dari atas udara.
Perpisahan ini memang menyesakkan. Tapi bisa tidak, satu hari saja rindu itu jangan bertamu?
Sakina menepis ingatan yang terbit satu persatu dari memorinya.
"Apa kabar kamu, Haf? Gimana pertandingan hari ini?" Gumam Sakina tanpa sadar.
"Are you oke, Nak?" Tanya abi di sebelahnya.
Sakina mengangguk ringan. "Makasih ya, Bi ... udah temenin Kina terus. Oh ya, Abi duluan aja. Sore ini kan ada jadwal praktik."
Abi mengusap sayang kepala Sakina dengan senyum tulus yang terpancar. "Sakina ... apa gak sebaiknya kamu pikir ulang soal keputusan ini? Rasanya terlalu gegabah untuk menyimpulkan kalau Hafy pelakunya. Abi khawatir kamu akan menyesal jika bukan. Sertakan Allah lewat salat istikharah, ya. Maaf kalau Abi ikut campur, tapi Abi cuma pengen lihat kamu bahagia. Dan Abi lihat itu setiap kali kamu di dekat Hafy."
KAMU SEDANG MEMBACA
Portrait of Destiny (end)
RomanceBeberapa orang datang dan pergi, tanpa tahu siapa yang akan menjadi pemilik hati. Sebanyak apapun Sakina memotret orang-orang yang pernah ditakdirkan terlintas di lensa kameranya, dia tidak pernah tahu orang mana yang akan ditakdirkan untuk menjadi...