Jac & Zal

542 57 2
                                    

Jacob berjalan gagah memasuki ruangannya dengan menyisakan aroma parfum di hidung Zalia yang dilewatinya. Tak lama Jacob memanggil Zalia untuk menghadapnya.

Jacob segera merapikan jas dan celana abu-abunya setelah mendengar suara pintu diketuk. Zalia pun dipersilakan masuk. Sementara Jacob berjalan ke arahnya.

"Mulai hari ini kamu gak perlu bekerja di sini lagi."

Zalia tersentak kaget. Tak ada angin tak ada hujan Jacob memecatnya secara mendadak. Zalia mengingat-ingat apakah dia melakukan kesalahan yang membuat kacau sampai tidak bisa dimaafkan, tapi seingatnya tidak ada. Selama ini dia bekerja dengan baik sesuai tugasnya. Sejenak Zalia masih diam menunggu Jacob memberitahunya alasan.

"Kamu tidak pantas bekerja di sini lagi!"

Jacob memberinya amplop coklat seraya menatapnya tajam. Meskipun saat itu dia benar-benar bingung dan masih membutuhkan pekerjaan untuk kebutuhan keluarganya, tapi entah kenapa perkataan Jacob begitu menusuk dan membuatnya ingin cepat-cepat pergi tanpa banyak kata.

"Baik Pak. Mohon maaf atas kesalahan saya selama bekerja di sini. Maaf saya ambil amplop ini. Terima kasih," Zalia menundukkan kepalanya sebelum berbalik arah—hendak berlalu.

"Silakan diperiksa dulu di sini, khawatir ada kekurangan. Saya tidak mau memberikan tambahannya kalau kamu periksa di luar ruangan ini," ucapan Jacob menahan langkah Zalia.

Zalia melirik Jacob. Andai saja ini tidak di kantor, pasti sudah Zalia remas habis-habisan mulut Jacob itu. Zalia membukanya, tak ada apapun di dalam amplop itu kecuali selembar kertas.

Mulai hari ini jadi calon istri gue ya!

Zalia mengernyitkan dahi tak habis pikir. Pipinya menggelembung penuh kekesalan. Dia memutar kembali arah tubuhnya dan langsung mendorong tubuh Jacob.

"Lu tuh ya, Jac! Orang teraneh bin ngeselin bin nyebelin yang pernah gue kenal sepanjang hidup tau gak?! Maksudnya apa coba?! Lu tau kan kita gak mungkin?" Rutuk bibir tipis Zalia.

Jacob tertawa mendengarnya. "Berarti kalau kita mungkin, lu mau kan jadi istri gue?"

"Hish! Apaan sih gak jelas banget?!"

"Oh jadi lu mau dipecat beneran aja?"

"Jac ... please bercanda lu gak lucu. Jantung gue hampir copot nih. Gue juga gak lagi ultah kan hari ini. Gue ..."

"Sssttttt ...." Jacob membungkam bibir Zalia dengan pulpennya. "Inget ini masih jam kerja! Harus sopan dan formal! Jadi gimana Zalia Husein apa kamu menerima tawaran saya?"

Zalia geleng-geleng kepala mendengar Jacob yang masih membahas lelucon itu. "Maaf Pak saya mau kembali bekerja lagi. Tugas saya masih banyak."

"Setidaknya tinggalkan jawaban sebelum pergi. Kali ini saya serius, mohon percaya," Jacob masih berdiri di belakang Zalia yang sudah membelakanginya.

"Kita beda, Pak. Tolong paham itu."

"Saya sudah menjadi muslim. Baru seminggu memang, tapi insyaa Allah saya akan istiqomah ... karena itu saya butuh kamu," pinta Jacob lirih.

Tak pernah Zalia mendengar Jacob seserius ini sebelumnya. Zalia menghela napasnya yang masih berantakan.

Selama ini ada kegalauan besar yang berjelaga di hati Jacob. Hidupnya menjadi tidak tenang, ditambah dia berada jauh dari orang tuanya yang kini sudah menetap di New York. Dengan pindahnya mereka ke sana, mereka sudah melepaskan anak tunggalnya itu untuk hidup mandiri tanpa campur tangan mereka lagi tentang hal apapun. Jacob tak bisa lagi mencurahkan isi hatinya selepas dulu saat mereka tinggal serumah. Beruntung ada abi Sakina yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Dia sering berbagi pikiran tentang spiritualitas dengan abi. Terlebih saat Jacob mendengar Zalia mengaji, seketika kedamaian itu memeluk jiwanya.

Portrait of Destiny (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang