Langit Makkah kala itu membiru terang dengan sobekan awan putih. Gema talbiyah dari ribuan manusia membuat hati Sakina berdebar dengan rasa tenang. Tak sadar ada air mata yang mengalir di pipinya. Terlebih saat pertama kali dia menyentuh Hajar Aswad berkat kuasa Allah. Allah mengirimkannya seseorang untuk menghalangi orang-orang yang berdesakan agar dia bisa mencium batu surga tersebut.
"Jazakallaah khayr," ucap Sakina seraya menunduk, sementara orang itu hanya berangguk ringan tanpa melihat Sakina.
Beberapa saat setelahnya, Sakina selesai menunaikan salat sunah bersama umi. Adanya dia di sini salah satunya karena umi. Umi menghadiahkannya umrah setelah dia diumumkan menjadi lulusan terbaik di sekolahnya beberapa waktu lalu. Dia mengecup punggung telapak tangan umi.
"Makasih Mi, maaf kalau Kina sering bikin Umi kecewa." Sakina memeluk umi seraya menangis.
"Anak Umi udah jadi ABG sekarang, Umi maklum kalau emosi kamu masih susah untuk dikontrol dengan baik. Tapi pasti bisa kalau kamu terus melatihnya. Semangat tumbuh menjadi remaja yang baik ya," Umi mengecup kening Sakina cukup lama.
Mata Sakina beralih mengitari sekeliling. Dia melepaskan pelukannya, lalu menunjukkan sebuah tempat ke umi dengan jarinya. Pelataran Masjidil Haram dengan membelakangi cahaya dan Ka'bah akan menjadi siluet yang indah dalam potret. "Ah di situ bagus tuh Mi untuk foto-foto. Gara-gara Mas Fayyaz aku gak bisa mengabadikan setiap momen di sini dengan baik."
Umi melirik Sakina seraya mengembuskan napas, "Baru aja Umi bilang, udah emosi lagi."
"Habisnya dia lupa kasih charger dan password iPhone-nya," rutuk Sakina.
"Kenapa gak kamu pinta?"
Sakina hanya diam lalu berdoa.
"Memang gak bisa mengabadikan momennya pakai hp kamu aja? Atau mau pakai hp Umi?" Tanya umi setelah Sakina selesai berdoa.
"Vibes-nya beda Mi." Elak Sakina.
Sakina teringat akan ucapan Fayyaz tentang dirinya yang bisa dihubungi kapanpun-di manapun. Sakina mengambil ponsel di tasnya, lalu mencoba menghubungi nomor Fayyaz yang tercetak di kartu nama. Dering ponsel yang tetiba bunyi di dalam tas umi membuat Sakina terdiam heran. Umi meraih ponselnya, namun ponselnya sedari tadi tidak diaktifkan. Umi teralih ke ponsel Fayyaz yang dititip oleh Sakina di tasnya. Ponsel itu berdering dengan nomor Sakina yang tertera di layar. Sontak Sakina memejamkan matanya, pasrah.
"Udah, udah ya Sakina. Ingat, semua yang terjadi atas izin Allah. Umi gak mau gara-gara ini, ibadah kita jadi gak fokus," tegas umi. Sakina seketika mingkem. Tak lama umi mengajaknya menyamper abi yang baru saja selesai salat.
Hari berlalu begitu cepat. Rasanya tidak ingin meninggalkan kota yang sangat indah ini, namun sayangnya malam ini adalah malam terakhir Sakina bisa menginjakkan kakinya di sana. Perjalanan harus berlanjut. Pemandangan Ka'bah yang penuh dengan cahaya malam masih nyaman direkamnya lewat lensa mata. Sakina meraih ponselnya di atas kasur. Dia memotret Ka'bah dari jendela kamarnya untuk diunggah ke cerita instagramnya.
Masha Allah so beautiful. Nasılsın?
Seseorang membalas cerita itu. Sakina tersenyum membacanya. Sahabat online yang sudah sebulan deactive Instagram akhirnya kembali aktif.
Hulya! Ben iyiyim. Ya sen? I miss youuu.
Hulya Dilara. Gadis blasteran Turki-Indonesia yang baru dikenalnya enam bulan lalu. Mereka berkenalan melalui instagram. Bermula dari Hulya yang takjub akan hasil potret Sakina di second account-nya, lalu berlanjut sampai ke derect message, bertukar kabar, bertukar cerita, hingga keinginan Hulya mengunjungi tanah air sang ibu-Indonesia. Hulya dan Sakina belum saling mengenal wajah masing-masing. Menurut mereka akan luar biasa rasanya jika saling melihat ketika bertemu langsung di suatu saat. Ya, mereka lebih nyaman jika seperti itu.
***
Hari pertama di Dubai membuat Sakina begitu bersemangat. Tidak ada lagi pembahasan kamera rusak dan iPhone tak guna itu dalam harinya. Dia benar-benar ingin menikmati momen berharga di sana bersama umi dan abi. Wajah Sakina yang putih seakan bersinar tersorot matahari. Dia memakai kacamata agar lebih jelas memandang orang tanpa silau. Sakina masih sibuk memotret umi dan abi hingga dia lupa untuk mengabadikan potret dirinya sendiri. Sesekali dia tampak mengarahkan pose kedua orangtuanya agar terlihat bagus di kamera.
"Biar saya yang fotokan," tawar seseorang di belakang Sakina.
Sakina yang terkejut sontak menoleh. Dilihatnya seorang pria berwajah imut dengan senyum tipis. Kulit putihnya yang bersih tampak bercahaya. Mas Fayyaz di sini juga, batin Sakina. Sakina yang masih tercengang seketika manut, dia berjalan menghampiri umi dan abi. Fayyaz mengabadikan potret mereka berlatarkan Burj Al Arab dalam sebuah kamera. Setelah dirasa cukup, Fayyaz mendekati keluarga itu untuk menunjukkan hasil potretnya.
"Bagus sekali, makasih Nak," puji umi.
"Jadi merepotkan waktu liburmu," ungkap abi.
"Tidak sama sekali, Pak. Saya bersedia jadi fotografer kalian selama di sini sebagai penebus rasa bersalah saya waktu itu," tawar Fayyaz.
Kali ini perasaan Sakina yang menjadi tidak enak. Fayyaz begitu bertanggung jawab atas kesalahan yang sebenarnya tidak sepenuhnya karena dia. Kata umi, Fayyaz menghubungi Sakina namun umi yang menerimanya saat Sakina sedang tidur. Umi memberi tahu keberadaan mereka hari ini kepada Fayyaz. Sakina melihat Fayyaz sesekali. Di satu detik tatapan mereka saling bertemu, hal itu membuat Fayyaz ingin menyampaikan sesuatu.
"Sudah diperbaiki," Fayyaz memberikan kamera itu kepada Sakina, Sakina meraihnya seraya menunduk.
Umi dan abi kembali berbaur dengan rombongan-bersenda gurau menikmati hari dengan angin sepoi-sepoi. Sakina menepi sendiri. Dia berjalan santai di atas pasir putih milik pantai Jumeirah. Pantai yang menawan dengan air berwarna biru nan bersih. Damai sekali rasanya menatapi panorama indah di negeri ini dengan mata telanjang, meskipun masih sangat terbatas waktu untuk menelusuri lebih jauh. Pandangan Sakina tanpa sengaja menoleh ke arah kiri. Ada Fayyaz yang juga sedang menyendiri di sana. Sosok rupawan dengan tubuh gagah itu sedang berbicara di telepon sambil menghadap ke pantai. Fayyaz melihat Sakina dan tak lama menyudahi teleponnya. Mereka berjalan saling menghampiri.
"Pulang Mas, kamu gak seharusnya di sini."
"Adek usir saya?"
Sakina menggeleng. "Aku cuma gak perlu jasa kamu untuk jadi tukang foto di sini."
"Saya ke sini juga sekalian refreshing kok, sudah lama tidak melakukanya."
Sakina diam sebelum akhirnya kembali berbicara. "Makasih ya," dia tersenyum canggung.
"Perlu kehati-hatian untuk menjaga barang berharga," pesan Fayyaz.
Tetiba angin meniup kencang hingga pasir-pasir berterbangan ke wajah Sakina dan Fayyaz. Pasir itu memasuki mata Sakina hingga membuatnya terus mengucek-ngucek. Sebelumnya Sakina menitip kacamata ke umi, biar lebih bebas melihat warna alami dari pantai Jumeirah. Fayyaz yang saat itu sedang mengenakan kacamata seketika melepaskannya. Dia membantu meniup mata Sakina yang masih terpejam.
Sakina membuka mata perlahan karena merasakan ada angin lembut yang menyapu matanya. "Mas Fayyaz!" Dia terkejut mendapati Fayyaz di sana.
Fayyaz yang juga dibuat terkejut sontak berdiri tegap. Salah tingkah. "Pakai ini," Fayyaz memberikan kacamatanya kemudian berlalu.
Sakina menatap kepergian Fayyaz dengan perasaan yang lagi-lagi muncul karena ulah manis Fayyaz padanya.
"Am I crazy?" Gumam Fayyaz dengan senyum tipis.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Portrait of Destiny (end)
RomanceBeberapa orang datang dan pergi, tanpa tahu siapa yang akan menjadi pemilik hati. Sebanyak apapun Sakina memotret orang-orang yang pernah ditakdirkan terlintas di lensa kameranya, dia tidak pernah tahu orang mana yang akan ditakdirkan untuk menjadi...