03. Kebanggaan nya Lee Jeno

720 102 19
                                    

Jaemin menatap punggung Jeno yang tengah sibuk memasak. Ditangannya masih terdapat handuk basah karena baru saja mandi. Ia jadi ingat saat dirinya yang memaki Tuhan karena membawa Jeno, sekarang Tuhan lah yang mengembalikannya untuknya.

Tuhan itu baik, hanya saja manusia yang kadang berasumsi jika Tuhan itu jahat setelah dibuat putus asa oleh takdir. Bagaimana Jaemin memaki yang diatas hanya karena mengambil Jeno. Tapi lihatlah sekarang, orang yang pernah membuatnya selalu menyalahkan semuanya ada di hadapannya, memasak makanan kesukaannya seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya.
Handuk ditangannya diremat kuat, kembali menangis jika ingat semuanya. Anak yang selalu diajarkan untuk bersyukur sekecil apapun kala itu menjadi anak yang sering menyalahkan dirinya, menyalahkan dunia bahkan Tuhan. Anak yang selalu diajarkan untuk berbuat baik setiap saat pernah menjadi anak yang mengabaikan seorang kakek tua yang kesusahan membawa dagangan nya.

Rasanya malu setiap bertemu Jeno. Dia malah menjadi anak yang buruk padahal ayahnya mengajarkannya sampai hal-hal kecil sekalipun tentang hidup. Mengajarkan untuk terus tersenyum bukan menangis, mengajarkan untuk terus menjaga kesehatan bukannya menyakiti diri sendiri. Matanya yang semula ia pejamkan kembali ia buka saat merasakan kepalanya sudah bersandar pada bahu orang dihadapannya. Punggungnya diusap pelan, tak bicara sedikitpun selain menenangkan Jaemin. "Masih pagi kenapa sudah menangis?"

"Aku.. bikin papa kecewa.."

"Kata siapa? Sejak kapan papa kecewa sama anak papa sendiri? Gak akan pernah. Anak papa itu hebat sekali, selalu bisa bikin papa bangga. Papa gak peduli kesalahan kamu kalau kamu berani minta maaf, berani menyesali perbuatan kamu sebelumnya. Itu baru namanya jagoan"

"Aku.. gak nurut sama papa.."

"Gak nurut sesekali gak apa-apa. Wajar, anak laki-laki kadang sedikit nakal. Nakalnya kamu masih wajar kok, tapi kalau sampai bakar sekolah ya... Papa juga gak mungkin bilang gak apa-apa.
Gak usah minta maaf karena nakal lah atau gak dengerin mama sama papa.. kesalahan kamu, jadiin pelajaran. Kalau kamu mikirin itu terus yang ada malah ngaruh ke depannya, kamu jadi gak bisa fokus sama cita-cita kamu. Seumur hidup papa, gak ada rasa kecewa buat kamu. Setiap harinya papa dibikin nangis karena bangga, bahkan waktu kamu bisa jalan pun rasanya kayak wah banget buat papa.

Na.. papa tau kamu sudah dewasa. Sudah bisa berjalan sendiri. Gak lagi butuh pengawasan sampai 24 jam kayak waktu taman kanak-kanak karena papa tau kamu pasti bisa jaga diri. Tapi jangan berasumsi kalau papa udah gak peduli sama kamu, kapan pun itu kalau kamu butuh papa pasti papa bakal datang. Sesibuk apapun itu, bahkan kalau hanya untuk meluk kamu papa pasti datang. Oke?"
Jaemin mengangguk, masih menangis mendengar ucapan Jeno tadi. Rasanya lega begitu saja dibandingkan selama ini memikirkan kesalahannya terus menerus.

"It's okay, kalau kamu bikin kesalahan mah gak apa-apa. Manusia gak bakal luput dari kesalahan, tapi papa tau kamu pasti bisa nanggepin itu dengan pola pikir dewasa. Papa percaya sama anak papa.
Sana cuci muka nya, merah gini. Habis itu bantuin papa masak ya?"
Jaemin mengangguk lalu kembali ke kamar.

Xiyeon yang sejak tadi mendengarkan obrolan suami dan anaknya itu mendekati Jeno, "baru ngasih nasihat?"

"Cuma cerita dikit. Anak kayak dia mah percuma dikasih nasihat. Tar masuk telinga kanan keluar telinga kiri."
Xiyeon terkekeh kecil sembari mendorong pelan lengan Jeno. Dia selalu suka bagaimana Jeno mengingatkan Jaemin dengan cara seperti itu sampai tidak tega menaikkan nada bicara sedikitpun kalau adu mulut nantinya.
"Jaemin hebat, sama seperti kamu"

"Ya.. dia anakku. The greatest child for me, always and forever"

***

"Ah kamu mah! Gak bisa ngalah dikit sama orang tua",

"Loh? Namanya juga tanding masa harus ngalah."

"Ya kan papa jarang main kayak gini, gak paham. Kamu gimana sih"

"Kok nyalahin aku? Yang main papa, yang kontrol tim nya juga papa kenapa jadi salah aku?"
Jeno menatap Jaemin sinis. Sementara yang ditatap sudah bingung. Tadi Jeno yang mengajak tanding bola, tapi Jeno juga yang mengomel karena kalah bahkan menyalahkan dirinya.
Papanya sehat?

"Udah ah.. udah males mainnya"

"Dih.. baperan. Aduh!"Jaemin meringis sambil mengusap telinganya yang ditarik Jeno. Mau tidak mau permainan selesai, gak bakal bener kalau Jeno main sambil marah-marah gitu. Yang ada rusak tv nya dibanting Jeno. "Terus mau ngapain?"

"Gak tau"

"Udah kayak cewek sumpah.. dateng bulan? Eh iya iya ampun"
Jeno kembali menyimpan toples kaca berisi kue di atas meja sambil menatap sinis anaknya. Kenapa anaknya jadi menyebalkan seperti ini hari ini? Tidak mungkin dia kemasukan jin saat menangis tadi.
"Makan mie yuk? Di tempat langganan kamu itu"

"Papa yang bayar"

"Iya iya.. ayo, biar pulangnya gak kesorean"

"Mama beliin jangan?"

"Gak usah, kalau mau suruh beli sendiri aja"
Mata Jaemin menatap Jeno horor, ini ada yang salah pada dirinya atau memang Jeno yang aneh hari ini?
"Nanti mama marah panik.. minta tolong buat bikin mama gak marah.. habis itu nyalahin aku lagi. Kan papa yang bikin mama marah kenapa aku yang malah papa salahin?"

"Karena orangtua selalu benar"

"Selalu benar apanya.. kemarin ditanyain bahasa inggris jawabnya malah yes sama no doang. Terus waktu ditanyain matematika jawabnya asal-asalan. Masih bisa disebut selalu benar?"

"Tapi pernah gak ada yang salah tugasnya kalau udah papa periksa?"

Pakai benar segala, kan kalah debat jadinya.
"Hah? Gak pernah kan? Jadi orangtua itu memang selalu benar. Gak bisa diganggu gugat sama siapapun. Udah ayo, papa laper"

***

"Astaga.."Jaemin menyandarkan punggungnya pada kursi. Mereka berdua kekenyangan karena makan dua porsi mie. Tanyakan saja pada bapak terhormat Lee yang punya ide gila ini. "Papa gak waras ya?"

"Kalau gak waras papa udah dirumah sakit jiwa"

"Ya kali maksa makan mie dua mangkuk. Satu aja udah kenyang"

"Pengecut ah.. masa gitu doang kenyang"

"Tolong anda lihat diri anda sendiri ya tuan Lee, anda juga kekenyangan"Jaemin bangkit dari duduknya diikuti Jeno. Rencananya mau jalan-jalan lagi sampai satu ide bagus terlintas di kepala Jaemin.
"Pa, ke kafe deket sekolah dulu ya? Bentar aja ya?"

"Ngapain?"

"Nyari kodok. Udah ikut aja kenapa sih, banyak tanya mulu dari tadi"
Jaemin menarik tangan Jeno agar mempercepat sedikit langkahnya. Keduanya mengobrol sembari sesekali bertengkar lalu baikan dan terus saja seperti itu sampai ke kafe.

"Americano.. aku datang.."

[]

Mon maap..
Saya lupa Jaemin kelas berapa disini:)
Plis yang inget beri tahu.. aku lupa dia naik kelas 12 atau lulus ke perguruan tinggi-_+

Call Him Nana vol.2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang