12. Perdana

473 79 8
                                    

"pernah mikir buat mati?"

"Aku gak perlu jelasin itu kan?"
Jeno menatap Jaemin, dia mengalihkan pandangannya dengan menatap ponsel ditangannya. Jelas-jelas Jeno bisa melihat matanya mulai berkaca-kaca, "kenapa?"

"Aku gak perlu jelasin itu juga, kan?"

Jeno enggan sebenarnya untuk melanjutkan pembicaraan ini, sayangnya hal ini perlu untuk laporan pada Mina tentang Jaemin. "Kenapa?"

Matanya kini benar-benar menatap Jeno. Senyum tipis terukir di bibirnya, "aku bosan hidup. Kalau seseorang berpikir untuk mati artinya dia bosan hidup, benar kan?"

"Kamu yang jarang mau ditinggal malah berpikir untuk mati"

"Dan papa yang selalu menepati janjinya malah pergi dan membuat anaknya ini hampir gila"
Sorot matanya mengintimidasi Jeno, "papa yang mulai. Papa yang bilang mau pulang tapi nyatanya gak, bikin anaknya hampir gila bahkan hampir keracunan, hampir mati karena nekat motong nadi nya sendiri, bikin anaknya harus bolak-balik psikiater, bolak-balik rumah sakit dan seakan suruh anaknya sendiri buat sembuh sendirian!"

"Kamu selalu mengangkat masalah itu, bukankah seharusnya dilupakan? Papa disini"

"Ngomongnya gampang ya"
Jeno baru tau anaknya bisa seperti ini, bahkan dia selalu mengajarkan agar Jaemin tidak mudah tersulut emosi seperti sekarang.
"Papa pikir gampang dengan lupain hal yang udah lewat gitu aja? Enak banget ngomong nya. Anaknya yang hampir lima tahun gila ini bahkan sampai gak punya temen karena emang udah gak waras, teriak-teriak sendiri di kelas. Papa enak bisa sembuh sama dokter, bisa sehat lagi kayak sekarang.

Papa pikir mental orang bisa diperbaiki?"

"Jaemin.. tidak ada yang mustahil di dunia"

"Kata siapa? Ada.. ada satu yang mustahil di dunia yaitu kembalinya Na Jaemin dengan mental yang kuat tanpa ketakutan sedikitpun dan bisa tersenyum selebar apapun pada semua orang. Itu adalah satu hal yang mustahil untuk kembali walau papa, mama bahkan sampai bibi Mina dan paman Mark ikut membantu pun gak bakal bisa,"
Tubuhnya condong ke depan dengan kedua telapak tangannya diatas meja, tak peduli jika dirinya jadi pusat perhatian kali ini. "Na Jaemin dihadapan mu ini.. sudah setengah gila dan papa berusaha untuk membuat Jaemin didepanmu ini kembali seperti semula? Papa hanya menambah pekerjaan.
Sampai kapanpun juga Na Jaemin akan tetap dicap sebagai anak yang semakin kehilangan akal nya"

***

"Loh? Kok cuma sendiri? Papa mana?"
Xiyeon heran saat Jaemin tak mendengarnya dan langsung pergi ke kamar. Baru ingin melihat keluar Jeno akhirnya muncul, wajahnya kusut dibandingkan saat sebelum pergi tadi. "Ada apa? Biasanya kalian berisik setiap masuk rumah"

Tak banyak bicara Jeno melemparkan ponselnya ke atas meja. Membiarkan Xiyeon mendengarkan isi rekamannya tadi. Jeno sudah terduduk di lantai sembari bersandar pada meja makan, ucapan Jaemin benar-benar menamparnya begitu keras apalagi saat Jaemin mengatakan jika dirinya memang gila. "Jeno.."

"Dari awal juga ini salahku. Aku juga yang harus menanggungnya"

"Jeno.. dengarkan aku"

"Dengar apa lagi? Aku benci diriku sendiri sekarang"
Xiyeon berjongkok di depan Jeno, tangannya mengusap lembut pipi suaminya itu. "Dia hanya terlalu marah, Jaemin memang seperti itu saat marah. Cuma sebentar kok"

"Kamu mau menyerah? Bukankah Jaemin sendiri juga masih kuat sampai sekarang? Ayahnya juga harus kuat seperti anaknya"

Xiyeon membawa Jeno ke dalam pelukannya, mengusap surai legam Jeno. "Jaemin hanya sedang lelah.. hari-harinya masih berat untuknya. Anak itu sebenarnya terlalu bahagia bertemu denganmu"

"Na Jaemin yang dulu masih tetap sama, dia hanya sedikit berubah karena semakin dewasa. Perlahan juga Jaemin bisa melepaskan semuanya. Jaemin tidak suka terburu-buru, sama kayak waktu psikiater pertama pengganti Mina datang kerumah buat nemuin Jaemin. Karena terlalu terburu-buru ingin tau masalahnya yang bikin dia gak mau ketemu lagi, dia bahkan sampai mengumpat pada orang itu"

"Lebih baik sekarang tenangkan dirimu dan.. Jaemin harus bertanding tiga hari lagi"

***

"Bagaimana dengan... Terapi seni?"

"Hah?"

"Seingatku Jaemin kadang menggambar.. tapi setiap diminta untuk lihat selalu disembunyikan.."
Mark termenung, mungkin itu bisa jadi alternatif untuk Jaemin yang sulit diajak bicara. "Bibi Mina juga pasti tau tentang itu bahkan pasti lebih tau dari aku. Jadwal Jaemin akan padat akhir-akhir ini"

"Kenapa?"

"Dia kembali ikut tim bisbol nya, bisa dibilang ini tampilan perdana nya lagi setelah hilang tanpa jejak"
Renjun menatap bola ditangannya, kemarin ia bertemu dengan salah satu pemain bisbol juga. Katanya teman Jaemin, namanya Sungchan. Dia yang menitipkan bola dengan tulisan-tulisan kata semangat di bola nya. "Aku harus pergi, ada hal yang harus aku sampaikan pada Jaemin"

"Terimakasih ya sarannya"

***

"Apa?"
Renjun masih diam, tangannya tetap terulur menunjukkan bola yang ada ditangannya. Jaemin juga sama hanya menatapnya, bingung dengan maksud Renjun. "Sungchan menyuruhku untuk memberikannya padamu"

Jaemin menghela nafasnya sebelum mengambil dan memasukkannya ke dalam tas. "Terimakasih"

"Papamu mana?"

"Masuk saja. Lagian aku juga tidak yakin dia datang"
Setelah memakai sepatunya Jaemin berjalan melewati Renjun begitu saja dan menaiki sepedanya. Melihat Jaemin yang pergi begitu saja dia tau jika hubungan Jeno dan anaknya sedang tidak baik-baik saja hari ini.

Kakinya mengayuh sepedanya dengan cukup kencang. Padahal ia berharap banyak pada Jeno, tapi mengingat hal tadi pagi membuat Jaemin tidak ingin mengingatnya. Dia takut, hari ini hari pertamanya bertanding setelah lama sekali, setelah kecelakaan yang membuatnya diambang nyawa. Bahkan tanpa latihan sedikitpun pelatihnya tiba-tiba menelpon dan mengatakan jika dirinya harus ikut hari ini.

Klakson mobil membuat Jaemin meminggirkan sepedanya untuk memberi jalan. Mobil yang tadi memberi klakson bahkan tak kunjung lewat. Bahkan setelah cukup lama mobil itu tetap dibelakang nya sampai suara dari mobil itu menyapa telinganya.

"Ayo Na Jaemin!! Lebih cepat lagi!! Nanti telat!!"

***

Nafasnya terengah-engah karena diajak balapan oleh sang pemilik mobil. Pria yang baru turun itu malah menertawakan Jaemin yang kelelahan sembari memberikan minum, "masa balapan segitu cape sih"

"Perbandingan sepeda sama mobil jauh ya! Tolong diingat"

"Ah masa.. kalah kok gak mau ngaku"
Jaemin menengadahkan kepalanya menatap pria yang lebih tua. "Enak aja ngomong nya"

Jeno tertawa kecil, membantu Jaemin untuk berdiri. "Ayo, biar kamu bisa makan dulu"


[]

Oot tapi Lucas ganteng banget Ya Allah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oot tapi Lucas ganteng banget Ya Allah...

Call Him Nana vol.2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang