26. Keluarga Kecil Mereka

370 38 5
                                    

"Jeno, maaf jika ini diluar konteks, tapi apa kamu tidak berlebihan pada Jaemin? Maksudku mengurus anak itu tugas ibu"

Jeno tertawa mendengar pertanyaan Haechan saat itu. Saat mereka berdua tidak sengaja bertemu kala Jeno menemani Jaemin ke taman. Haechan hanya sedang jalan-jalan setelah membeli beberapa bahan kue untuk Somi.

"Pernah mendengar Jaemin mengajakku bermain saat aku sedang bekerja? Mengurus anak itu bukan hanya untuk seorang ibu. Ayah juga berperan untuk masa-masa sang anak. Aku yang menjadi saksi bagaimana adikku sendiri tumbuh. Dia sering berucap pada ayahku dulu seperti, appa kapan pulang atau kapan aku bisa bermain dengan appa.

Anakku tidak boleh menyebutkan kata-kata itu. Dia harus punya waktu Bersama ibu juga ayahnya. Jaemin belum pernah mengajakku saat aku sedang bekerja dirumah. Dia hanya bertanya aku sedang apa lalu setelahnya dia bermain sendiri sampai aku selesai mengurus pekerjaanku. Xiyeon juga sedang bekerja, tapi dia berhasil menunggu dengan sabar. Setelahnya barulah aku bermain dengannya, kau tau chan? Kalau kamu punya anak nanti kamu akan tau seberapa pentingnya waktu untuk bermain dengan anakmu selain bekerja.

Aku pernah pulang malam dan melihat Jaemin tertidur di sofa, terserah kamu mau bilang aku berleihan atau tidak tapi aku yang sedih disana. Jaemin pasti menunggu ku pulang, Jaemin pasti ingin bermain sebentar sebelum tidur. Makanya aku berusaha untuk selalu menelpon Xiyeon. Selain memberi kabar agar Xiyeon tidak khawatir, rasanya aku lebih tenang karena memberitahu Jaemin agar tidak menungguku pulang. Besoknya bahkan Jaemin yang membangunkanku untuk sarapan"

"Haechan, tidak semua waktu bisa kamu gunakan untuk bekerja. Cepatlah punya anak, agar kamu bisa mengerti semua itu"

***

"Papa papa! Lihat deh! Bagus kan gambarnya?"

"Ya Tuhan"
Jeno menutup mulutnya saking terkejut melihat kanvas yang digunakan anaknya untuk melukis. Sofa kecil berwarna putih yang baru dibeli awalnya mau ia simpan diruang kerjanya, tapi sekarang sudah penuh dengan spidol berwarna-warni. Tangan anaknya juga kotor karena memegang krayon sambil tersenyum polos.
"Iya bagus kok, tapi tau gak kalau Nana salah?"

"Salah?"

"Ini.. bukan tempat buat gambar-gambar. Papa kan beliin buku gambar, nah kamu boleh gambar disitu. Ini gak boleh kamu gambarin kayak gini, sama yang lainnya juga. Spidolnya cuma boleh dipake di buku gambar doang"

"Tapi kata papa bagus...."

"Iya sayang emang bagus, tapi kalau begini liat. Nanti kotor dong kalau ada tamu mau duduk disini, celananya nanti warna-warni. Kalau kayak gitu berarti gak sopan sama tamu, bener gak?"
Jaemin mengangguk, menatap Jeno sambil menautkan tangannya satu sama lain. "Maaf papa..."

"Udah dimaafin. Sekarang beresin ya alat-alat gambarnya terus simpen lagi ditempatnya. Papa mau coba bersihin dulu sofa nya"

"AKU BANTUIN!"

"Iya boleh, sana simpen dulu terus cuci tangan pake sabun sampe bersih. Kalau nyariin papa, papa diluar ya? Samperin aja"

"Oke papa"
Kepergian Jaemin membuat Jeno mendesah panjang, menatap sofa berbahan kulitnya yang sudah berhiaskan gambaran-gambaran abstrak anaknya sendiri.
"Mau marah tapi anak sendiri, gak marah tapi ini sofa baru.... Yang ada mamanya yang marah nanti"

***

"Aku gak akan pernah menyesal bisa jadi anak papa... Bahkan kalau bisa, dikehidupan selanjutnya aku pengen jadi anak papa lagi"

Call Him Nana vol.2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang