"kamu mimpi apa kemarin.. papa benar-benar takut waktu itu"
Jaemin menatap Jeno lalu membuang pandangannya, lama-lama muak harus keluar masuk bangunan ini. Mengenakan pakaian yang sama, makan makanan yang tidak enak.
"Jaemin.. kamu mengigau semalaman, ada apa? Cerita pada papa.."Jeno bingung saat melihat Jaemin menangis, ditariknya cepat ke dalam pelukannya sembari memanggil dokter, "kenapa? Ada apa?"
"Papa itu sebenarnya gak ada kan? Ini cuma mimpi aku kan? Kalau iya mending papa pergi aja.. ajak aku sekalian"
"Heh, kenapa ngomongnya begitu?"
"Aku gak kuat.. kepala aku sakit tiap malem. Telinga aku sakit denger kalau papa itu gak bener-bener dateng.. aku mau ke tempat waktu itu aja.."
Kepalanya menengadah mencoba memperkuat pertahannya, aduan Jaemin benar-benar menusuk. "Gak boleh ngomong gitu.. anak papa pasti bisa lewatin semuanya, banyak yang bantuin. Kamu pasti bisa kayak dulu lagi"Jaemin menggeleng ribut, dia bisa gila lama-lama mendapat mimpi dimana Jeno selalu saja pergi dan setiap bangun saat melihat Jeno rasanya benar-benar nyata. Dirinya sudah tidak tau cara menjelaskannya lagi sekarang. "Gak apa-apa istirahat.. tapi papa yakin.. jagoan kecilnya papa pasti bisa lewatin semuanya"
Kepalanya perlahan bersandar pada Jeno setelah Mark memberikan obat penenang. "Anak papa pasti kuat.. Tuhan gak mungkin ngasih ujian buat kamu kalau kamu nya gak kuat.. karena Tuhan tau kamu kuat dia ngasih kamu ujian supaya nanti bisa benar-benar bahagia.. ya?"
Kepala Jaemin dicium cukup lama oleh Jeno dan masih tetap dipeluk. Rasanya enggan untuk melepaskan pelukannya seharian ini.
"Jen..""Aku. Gara-gara aku anakku jadi seperti ini. Harusnya aku gak pergi hari itu, Jaemin gak mungkin kayak gini. Aku bikin Jaemin kecewa lagi.."
"Kamu udah jadi ayah yang hebat Jeno"
"Kata siapa? Jaemin yang dulu belum sempat aku buat bahagia dan sekarang aku sendiri yang membuatnya kecewa. Hebat apanya? Seseorang yang mengganggunya saja sudah membuatku marah apalagi sampai membuat Jaemin menangis.. pantas Haechan mau memukulku kemarin, Jaemin saja jadi seperti ini karena ku"
"Cukup Lee Jeno. Kau kira menyalahkan dirimu dapat memperbaiki keadaan?"
"Kau tidak tau. Kau hanya ikut ke dalam masalah, tidak dengan tau apa yang sebenarnya dirasakan oleh orang yang kau bantu ini. Kau tidak akan pernah tau, Mark"
Mark tertegun. Jeno memang benar, dia tidak pernah tau masalah keluarga Jeno sampai ke inti dan bahkan bisa dibilang terlalu egois.
"Kau tidak tau bagaimana rasanya dua kali berniat bunuh diri.. jangan samakan kehidupan ku dengan mu yang bahkan baik-baik saja. Jaemin bukan Seojun, aku tau kau memperlakukan hal yang sama pada keduanya. Kau hanya lupa seperti apa Jaemin padahal jelas-jelas ia tidak berubah.Kau egois, menyuruhnya ikut psikiater atau lainnya. Aku tau kau juga pelan-pelan menyuruhnya untuk belajar ikhlas.. Jaemin bukan anak yang mudah paham dengan hal begitu. Dia paham, tapi tidak dengan hatinya. Kau menyuruhnya untuk berhenti menyakiti diri sendiri sama dengan membuatnya semakin ingin melakukannya.
Dan lihat sekarang, kebahagiaan nya rusak hanya karena satu orang. Aku""Ya.. kau boleh bilang jika aku egois. Tapi asal kau tau ucapan mu itu sama sekali tidak disukai oleh anakmu. Jaemin masih butuh penyesuaian keadaan karena dia sudah menemukan rumahnya lagi. Dia sedang bertarung melawan egonya, Lee Jeno. Ego-nya jika kamu itu sebenarnya sudah tidak ada, sejak dulu juga seperti itu.
Kalau memang kau ingin menyalahkan dirimu, biar aku tambahkan. Kenapa bukan datang lebih awal? Kenapa bukan datang saat dua atau tiga tahun? Kenapa kau harus datang disaat Jaemin berusaha untuk melepaskan? Kenapa tidak berusaha menepati janji mu lewat telepon waktu itu?
Kau gila, satu-satunya cara untuk Jaemin hanya dirinya sendiri. Biarkan dia akhirnya percaya dengan keberadaan mu. Kau memang menghancurkan ekspetasi Jaemin beberapa tahun lalu Jeno, dia ingin kau kembali dan waktunya dia ikhlas kau datang. Ya Tuhan rasanya kepalaku mau pecah""Keluar"
Satu kata yang berhasil membuat Mark meninggalkan Jeno berdua dengan Jaemin dipelukannya. "Maaf ya.. papa datang diwaktu yang salah"***
"Tenangkan dirimu dulu... Jangan sampai kebawa emosi"
Xiyeon takut jika Jeno ikut drop, melihat Jeno yang lemas jadi membuatnya berprasangka buruk.
"Jaemin pasti baik-baik saja. Dia sedang butuh istirahat lagi""Kamu belum tidur dari kemarin. Matamu sudah merah, biar aku yang menjaga Jaemin malam ini. Pulang, tidur yang cukup"
"Tidak.. aku tidur disini saja"
"Disini tidurmu tidak nyenyak Jeno"
"Biarkan saja, lagipula malas dirumah sendiri"Ucap Jeno uring-uringan sembari duduk di sofa dan merebahkan tubuhnya, persis seperti Jaemin dulu kalau tidak dibelikan balon.
"Kayak anak kecil""Biarin"
Jaemin yang berpura-pura tidur hanya mendengarkan perdebatan kecil orangtuanya itu. Lama-lama dia malu, sejak kecil di didik dengan baik tapi besarnya malah menjadi beban. Lucu sekali.
"Jaemin itu.. sudah seperti hadiah kecil tapi istimewa waktu itu. Aku tidak berekspektasi lebih jika waktu itu mengandung, ternyata kejutan dari Tuhan. Bisa dibilang hadiah pernikahan kita bukan?""Takut. Itu perasaan pertama ku saat tau aku hamil, aku takut jika tidak bisa mengurus anakku sendiri dengan baik. Tapi dia sudah sebesar ini sekarang. Padahal rasanya baru kemarin mendengar tangisan pertamanya"
Jaemin hampir saja ketahuan karena terkejut dengan tangan Xiyeon yang tiba-tiba berada di kepalanya. "Anak mama sudah besar saja ""Aku mau pergi dulu sebentar, tidur. Awas aja kalau gak tidur"
Matanya ia buka sedikit, menatap Jeno yang tengah berbaring sembari memainkan ponselnya. Tidak terlalu lama Jeno menaruh ponselnya lalu memejamkan mata. Dirasa aman Jaemin membuka mata sepenuhnya, menunggu Jeno agar tidur dulu agak sedikit lama sebelum melancarkan aksinya.***
Mengembuskan nafasnya pelan, udara di luar sini cukup dingin entah kenapa. Jaemin juga sebenarnya sudah mulai kedinginan tapi ia sedang ingin disini, entah apa yang akan dikatakan orangtuanya nanti kalau tau anaknya berada di luar saat tengah malam seperti sekarang. Jaemin meremat celananya, suhu udara terlalu dingin untuknya malam ini tapi masih pada posisinya, menengadahkan kepalanya ke langit padahal hanya ada beberapa bintang saja.
Jaket yang tiba-tiba ada di bahunya membuat Jaemin menoleh, mematung begitu melihat Jeno tiba-tiba sudah ada di sampingnya. "Mau keluar kok gak izin? Nanti makin sakit lagi""Aku mau balik kok.. iya.."
"Kalau masih mau sebentar lagi disini juga gak apa-apa. Jaketnya aja pake"
Jaemin melirik jaket yang ada di bahunya, masa dia cuma pakai sebelah tangan karena tangan sebelahnya lagi ada jarum infusan. "Dingin, gak kuat lama-lama disini""Tapi kalau duduk di bawah shower, pake air dingin, tengah malem selama setengah jam kuat tuh.."
[]
Komennya sepi hiks..
Mo pundung ah..
KAMU SEDANG MEMBACA
Call Him Nana vol.2
FanfictionKembalinya Jeno, mungkin karena Jaemin benar-benar harus bahagia. [diharapkan baca Call Him Nana yang satu nya dulu sebelum kesini, terimakasih]