#31 Sebuah pelukan

862 113 26
                                    

Sepanjang perjalanan pulang bisa aku rasakan jika gigiku gemertakan, wajahku benar-benar panas, mungkin orang-orang akan melihat jika itu memerah.

Sejujurnya diperlakukan macam itu oleh teman-temanku membuatku benar-benar marah, aku ingin berbalik untuk meneriaki mereka satu-persatu, atau yang paling aman melaporkan mereka ke guru kesiswaan menyangkut kasus perundungan. Tapi tidak, ada beberapa hal dalam diriku yang gemetar bahkan untuk sekedar melihat wajah mereka, sadar jika aku sendirian dan di posisiku sekarang aku sama sekali tidak punya apapun untuk menyerang mereka balik.

Singkatnya, aku merasa takut.

Ketika sampai hal pertama yang aku lakukan adalah mencuci payung milik Jeno, sebelumnya aku sudah membasuh payung hitam itu di keran sekolah yang aku temui dekat lapangan outdoor, tapi sayang bau amis dari telur yang dilemparkan teman-temanku masih berbekas kuat di sana.

Pintu kamarku terdengar diketuk dari luar ketika aku masih sibuk mencuci di kamar mandi, om Jaehyun yang baru saja pulang sepertinya khawatir karena aku tidak menjawab ketukan itu sementara suara air dari shower terdengar mengalir, maka dari itu dia masuk kedalam kamar dan langsung menanyai kondisiku.

Dengan posisi membelakanginya aku mengelengkan kepala, "Om, Om Jaehyun keluar dulu, bisa?" pertanyaan itu sebenarnya lebih terdengar seperti aku tengah memperhalus kalimatku yang berniat mengusir om Jaehyun.

Ada beberapa jeda suasana hening di antara kami, sebelum akhirnya diselamatkan dering telpon di handphone miliknya. Om Jaehyun lantas berkata, "O-oke, kalo kamu sudah selesai langsung keluar ya? Saya seduhin susu buat kamu." Kemudian terdengar suara pintu kamar yang ditutup.

Aku kembali melanjutkan pekerjaanku untuk menghilangkan bau amis dari payung milik Jeno, dua sampai tiga kali aku membersihkannya dengan sabun cair yang biasa aku gunakan karena hanya cara itu yang aku pikirkan. Namun hingga dibilasan ketiga, ketika tanganku bahkan sudah mulai gemetar, bau amis telur itu masih ada di sana meski tidak lagi berbau terlalu menyengat.

Aku frustasi, membayangkan Jeno akan mengomel karena hal ini membuat sesuatu yang aku tahan agar tidak terjatuh dari mataku kini gagal. Tangisanku pecah.

Dan satu hal yang datang ke pikiranku untuk menghindari omelan dari Jeno adalah meminta oom ku untuk itu. Maka aku keluar kamar, melihat sosoknya ada di dapur tengah membelakangi aku sambil sibuk mengobrol dengan sosok di seberang telpon. Itu papa.

Aku berjalan untuk memeluk sosoknya dari belakang, membenamkan wajahku di punggungnya tiba-tiba, tapi dia bahkan tidak menunjukkan reaksi terkejut apapun. "Anya, katanya hari ini papa kamu udah bisa pulang, perkiraan besok sampai. kamu nggak mau ngobrol—"

Kepalaku menggeleng dengan cepat, "Anya nggak mau ngomong sama papa." Setelahnya aku mengatakan pada om Jaehyun mengenai permohonanku agar dia bisa bilang pada Jeno jika bau amis pada payung milik laki-laki itu yang dia pinjamkan padaku tidak bisa hilang.

Tahu jika aku sedang badmood, om Jaehyun menggantikan aku untuk berbicara dengan papa kemudian menutup panggilan telponnya dengan cepat. Aku melonggarkan sedikit pelukanku padanya ketika merasakan jika om Jaehyun akan membalik tubuhnya untuk menghadap aku.

"Kenapa payung Jeno bisa amis, mau cerita sama saya?" dia bertanya sambil membalas pelukanku. Tangan kanannya sibuk menepuk-nepuk punggungku sementara yang kiri mengusap rambutku lembut, seperti yang biasa dilakukan papa ketika tahu aku tengah merasa sedih.

Tapi bukannya menjawab pertanyaannya, atau bahkan bercerita mengenai hal buruk apa yang terjadi hari itu, bibirku malah menyuarakan sesuatu yang lain, "Anya nggak mau papa pulang," kataku.

Ingatan mengenai kata-kata kasar dan menjijikan teman-temanku mengenai sosok papa membuat aku khawatir jika papa akan ikut sakit hati ketika tahu masalah ini. Tapi kedengarannya kalimat yang aku ucapkan tidak menjelaskan hal itu, dan malah terdengar seperti aku tidak menginginkan kepulangan papa. Apa yang aku pikirkan dan apa yang aku ucapkan sore itu benar-benar jauh berbeda, dan aku sangat menyesal karenanya.

"Anya nggak mau Papa dateng waktu pertandingan, nggak mau temen-temen Anya lihat sosok Papa." Kataku sambil membasahi kemeja yang digunakan om Jaehyun dengan air mataku yang turun tanpa bisa dicegah.

Om Jaehyun yang kelihatannya terkejut mendengar hal itu dan sejenak menghentikan tepukannya pada punggungku, namun tidak lama setelahnya ganti mengeratkan pelukan kami. Seolah tahu apa yang sebenarnya sedang aku pikirkan meski kalimat yang aku ucapkan sebenarnya terdengar ambigu.

"Jangan sedih lagi, nanti saya coba bantu bilang ke Papa mu soal nggak dateng ke pertandingan, ya?" Kalimat yang diucapkannya itu terdengar begitu menenangkan, dan aku tidak bisa untuk tidak jatuh lebih dalam di pelukannya.

.

.

.

Tbc

Teater kecil 'Sebuah Pelukan'

Anya: Silakan peluk aku kalo kamu mau peluk^^

Om Jaehyun: Kalo kamu bukan Anya, silakan peluk saya kalo kamu bisa ngerjain 100 soal matematika

Jaemin: Silakan peluk gue kalo elo juga ga suka sama Pak Jae- (masih dendam, nggak mau nyebutin namanya)

Jeno: Silakan peluk gue kalo elo nggak suka Anya.

Miss Wendy: Saya nggak suka
dipeluk  ╮ (. ❛ ᴗ ❛.) ╭

Hai Om! ▪Jaehyun▪Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang