Pulang dari GOR, si pemilik aroma citrus dan mint itu tiba-tiba menjadi pendiam. Dia menutup mulutnya rapat-rapat seolah takut jika akan mengatakan hal yang salah, begitu pula aku yang saat itu sibuk menatap kepulan asap dari dalam gelas berisi seduhan susu. Tidak berani melihat raut apa yang ditampilkan sosoknya yang tak lain adalah papa.
"Maaf--"
"Maaf--"
Kepalaku yang menunduk terangkat begitu bibir kami berdua menyuarakan kata yang sama, di hadapanku papa yang tadinya duduk dengan tidak nyaman akhirnya bangun. Berjalan mendekat lantas memelukku erat-erat, bibirnya berkali-kali mengucapkan permintaan maaf membuatku kembali mengingat hal-hal kasar yang aku ucapkan kemarin.
Tangisanku dan suara papa yang meminta maaf bersahutan di rumah kami yang sepi, tidak berhenti bahkan ketika suara derit pintu terdengar. Om Jaehyun tiba-tiba saja datang, dia menatap aku dan papa yang tengah berpelukan dengan suara-suara yang terdengar miris sekaligus lucu dalam waktu bersamaan, kemudian bergabung untuk memeluk kami.
Hampir setengah jam kami bertahan dalam posisi itu, sampai akhirnya suara dan tenagaku habis untuk melanjutkan aksi menangis. Papa mengulurkan gelas berisi susu padaku, sementara om Jaehyun bergerak untuk menyeka wajahku yang penuh air mata dengan tangannya.
"Kalau kamu mau balas perbuatan mereka saya bisa bantu kamu buat ngomong hal ini ke guru kesiswaan." Oomku itu memberi saran, aku mengeratkan genggamanku pada gelas sambil sesekali melirik pada papa yang menatapku penuh harap.
Namun pada akhirnya kepalaku menggeleng, "Anya takut," dengan kalimat yang sedikit rancau aku mengatakan pada keduanya tentang kekhawatiranku akan masalah lebih besar yang mungkin akan timbul jika melibatkan guru kesiswaan, "--Om, aku nggak ngelakuin apa-apa aja mereka benci sama aku, aku nggak bisa bayangin kalo nanti bawa-bawa guru kesiswaan dan bikin mereka kena mas--"
"Mereka kaya gini karena mereka tahu kamu ngerasa sendiri, mereka tahu kamu ngerasa takut." Tangan papa yang kasar dan penuh kapalan itu menyentuh sebelah tangan milikku, mengenggamnya erat untuk menyalurkan kekuatan yang tak kasat mata. "Kamu punya Papa, Nya. Kamu nggak sendirian, beberapa hal buruk mungkin nggak bakalan bisa kamu hindarin tapi nggak usah khawatir, Papa bakalan ada buat berbagi rasa sakit sama kamu."
Sebelah tanganku yang tidak digenggam papa diraih oleh om Jaehyun, "Kamu juga bisa percaya sama saya," setelah berhenti sebentar untuk mengalihkan pandangan ke papa ia melanjutkan, "Kalau papa mu bakalan berbagi rasa sakit sama kamu, maka kamu bisa percaya saya buat bantu nyelesain masalah kamu." Ujarnya sambil menyisipkan sebuah senyum usil di akhir.
Papa terkekeh sebentar sebelum kembali mengulangi kalimatnya, "Inget sekali lagi, kamu nggak sendirian ada papa sama oom kamu. Jadi jangan takut."
Jangan takut
Entah mengapa mendengar itu darinya membuat beberapa hal berat di hatiku terangkat, seolah kata-katanya benar-benar mujarab untuk mengobati hatiku yang semula ketakutan. Kata-kata papa dan oomku berdengung di tiap sisi teligaku, baik kanan maupun kiri. Seolah dua sosoknya benar-benar ada di setiap langkahku untuk membisikan kalimat itu. Seolah mereka benar-benar tidak meninggalkan aku untuk merasa sendirian.
"Jangan terlalu benci sama mereka yang ngejauhin kamu, Nya. Sebagian besar orang yang ngejauhin kamu itu cuma ikut-ikutan, kamu bisa bikin keadaan berbalik dengan ngejadiin mereka sekutu."
Sosok bayangan papa yang berdiri di belakangku itu mulai berbisik, mengulang ucapannya siang kemarin.
"Tebalin kulit kamu, nggak apa-apa buat bersikap seolah nggak ada yang terjadi."
Aku mendengarkan hal itu sambil mendudukan diriku ke tempat duduk. Atmosfer tidak mengenakkan masih bisa aku rasakan, membuat apa yang diucapkan bayangan papa terkadang terdengar tidak jelas.
Aku gugup,
Telapak tanganku tidak bisa berhenti untuk berkeringat, tapi begitu bayangan Om Jaehyun meletakkan tangannya ke pundakku kini semua hal yang ada di kelas bisa kembali terlihat jelas.
Bayangan papa masih mengoceh di belakang, tapi perhatianku malah terfokus pada sebuah bedak yang hampir terjatuh di meja sebelahku. Hanya dengan satu senggolan dari pemiliknya yang tengah sibuk mengobrol dengan teman-temannya itu pasti akan terjatuh dan pecah. Tapi sebelum itu—
Hup!
Aku menangkapnya.
Hal ini membuat suara ocehan bayangan papa berhenti, juga menarik perhatian Viola si pemilik bedak dan dua temannya, aku dengan ragu mengulurkan tangan untuk meletakan kembali bedak milik Viola di mejanya.
Bayangan papa masih terdiam, sementara milik oomku merendahkan diri untuk berbisik tepat di samping telingaku,
"Kalau menurut saya, kamu hanya perlu jadi tulus."
Bayangan papa gelagapan, namun pada akhirnya setuju juga.
"--cari teman, bukan sekedar sekutu. Sekutu mungkin bisa kamu jadiin tameng, tapi teman bisa menenangkan hati kamu."
Aku yang semula sudah tidak lagi memperhatikan Viola dan teman-temannya merasakan lenganku disentuh pelan, membuat jantungku tiba-tiba berdebar. Kepalaku menoleh, kemudian mendapati Viola yang tengah mengangkat bedak miliknya yang tadi aku selamatkan.
"Makasih, Nya."
Mendengar ucapan terimakasih dari Viola bayangan papa dan om Jaehyun menghilang, bersamaan dengan sudut bibirku yang perlahan terangkat, untuk membalas ucapannya.
"Sama-sama."
.
.
.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai Om! ▪Jaehyun▪
Fanfic"Ya Tuhan, Maafin Anya karena udah suka sama Om Jaehyun"-Anya . .