#32 Larangan

791 110 29
                                    

Tepat seperti yang dikatakan om Jaehyun kemarin, hari ini papa benar-benar pulang. Namun dengan hal melelahkan yang seharian yang aku alami, dan situasi yang sama sekali tidak membaik melihat bagaimana sosok yang sudah membesarkan aku sejak kecil itu tengah berada di kamar yang sementara aku tempati sambil memasukan barang-barang milikku ke dalam koper tanpa ijin entah mengapa membuat emosiku yang aku tahan sejak tadi pagi kembali naik lagi.

"Papa ngapain?" aku bertanya sambil mendekat ke arah papa, berusaha menghentikan aksinya. "Anya bisa ngeberesin barang-barang Anya sendiri!" Kataku sambil merebut baju tidur milikku yang ada di tangan papa, kemudian mengambil alih kegiatannya.

"Ih! Dateng-dateng bukannya peluk terus cipika-cipiki dulu sama howt daddy ini malah marah-marah." Katanya dengan nada lucu yang biasa digunakannya, tangannya ia gunakan untuk menepuk-nepuk dada kemudian merentangkan kedua tangan lebar-lebar, meminta aku untuk memeluknya. Tapi aku yang sedang tidak ingin bercanda dengannya mengabaikan hal itu, sibuk meneruskan kegiatan papa untuk packing barang-barang yang aku bawa selama menumpang di apartemen oom ku.

Melihat responku yang tidak mengenakkan itu papa kemudian bangkit dari posisinya yang semula duduk di karpet kamar, dia memanggil om Jaehyun sebagai gantinya. "Woi Jaehyun, kesayangan gue ngambek gara-gara apa kali ini?" Papa bertanya dengan suara keras, membuat oom ku yang juga sudah pulang langsung datang ke kamarku.

Om Jaehyun di ambang pintu nampaknya bingung dengan jawaban dari pertanyaan itu karena aku sendiri tidak menceritakan apapun yang belakangan aku alami padanya. Maka untuk menyelamatkan oom ku dari situasi canggung, sementara papa masih sibuk melototinya main-main, aku mengatakan hal yang sudah aku pertimbangkan sejak kemarin. "Besok papa nggak usah dateng ke pertandingan Anya." ujarku yang malah menambah atmosfer canggung di antara tiga orang di ruangan itu.

Papa yang mendengar itu langsung berjongkok di hadapanku, "Dih, bercanda ya? buat pertandingan kali ini kamu kan udah janji bakalan ngebolehin papa nonton." Papa berucap lembut, meski masih terdengar nada main-main andalannya terselip sedikit nada kecewa di sana.

Tapi aku yang sore itu kembali mengingat ejekan teman-teman sekelasku mengenai sosok papa, jahatnya tidak terlalu memperhatikan nada kecewa dari suaranya itu, malahan berbalik menaikan suaraku padanya, "Pokoknya kalo Papa maksa dateng, Anya nggak bakalan ikut tanding!" aku mengancam.

Mendengar hal itu papa tidak bisa untuk tidak ikut tersulut emosi, memang dalam hubungan aku dan papa selama ini menaikan sedikit suara ketika berdebat mengenai hal kecil memang bukan hal yang luar biasa lagi. Namun karena suasana yang tercipta karena masing-masing hal melelahkan yang kami alami, menaikan suara ketika itu benar-benar pilihan yang buruk.

Papa meraih tanganku, "Kamu sebenernya kenapa sih? Papa cuma mau nonton anak kesayangan Papa tanding, tapi kamu selalu aja ngelarang buat dateng. Alesannya ini-itu, ada aja. Anya malu kalo Papa dateng buat nyemenangatin kamu di pertandingan?"

Dia melanjutkan dengan satu kalimat tanya yang menurutku cukup menakutkan untuk di dengar. "Anya malu punya orang tua kaya Papa?"






"Iya,"

—"Anya malu punya papa kaya Papa." Kalimat itu meluncur tanpa bisa aku tahan, ketika mengatakannya aku mengangkat wajah dengan sok berani untuk menatap papa. Air muka papaku berubah dengan cepat, bersamaan dengan pandanganku yang memburam.

Tidak kuasa menatap wajah itu terlalu lama aku menurunkan padanganku, mencoba agar papa ataupun om Jaehyun tidak melihat sesuatu yang mulai mengalir keluar dari mataku itu. "Gara-gara Papa, Anya dikatain anak haram sama temen-temen. Gimana bisa Anya nggak malu?" ujarku dengan suara mencicit yang meskipun begitu bisa terdengar jelas karena suasana yang senyap sore itu.

Papa tidak langsung menjawab, hanya ada suara langkah dari om Jaehyun yang kelihatannya mendekat ke arahku. Tapi sebelum sosoknya benar-benar sampai, aku lebih dahulu menghindar. Pergi dari apartemen oom ku yang menjadi arena pertengkaran pertama aku dan papa mengenai hal seserius ini.

Dengan seragam yang masih menempel pada tubuhku dan langit sore yang sudah kelihatan hampir gelap aku berjalan hanya dengan hanya memikirkan satu tempat tujuan untuk kabur sementara dari papa dan oom ku. Fakta bahwa kini aku tidak lagi punya teman, aku dengan yakin memesan ojek online kemudian pergi ke warung nasi goreng kang Ujang yang ada di dekat rumahku.

Tapi ketika aku baru saja menghabiskan setengah porsi dari nasi goreng spesial super pedas yang aku pesan, sosok yang aku hindari tadi datang kemudian duduk di sampingku tanpa mengatakan apa-apa selama lima menit pertama.

"Papa kamu setuju buat nggak dateng ke pertandingan besok, asal kamu main dengan baik dan dapet juara." Kata om Jaehyun sambil mendorong kotak tisu padaku waktu melihat wajahku yang memerah dan sudut mataku yang sedikit berair.

"Besok-besok jangan ngomong kaya gitu lagi ke Papa mu. Nggak baik." Dia berhenti sebentar untuk memesan dua porsi nasi goreng untuk dibawa pulang, sebelum akhirnya melanjutkan.

"Kamu mungkin udah sering denger orang-orang bilang kalau tindakannya di masa lalu itu bejat, sejujurnya saya sendiri setuju. Tapi melihat dia membesarkan kamu dengan baik meski menjadi single parent yang sama sekali nggak punya pengalaman membesarkan anak, dia sudah cukup baik, loh."

"Lagipula papa kamu sudah mengakui kesalahannya, meminta maaf, dan bertanggung jawab atas apa yang dia perbuat. Ngeliat dia selalu bangga dengan kamu, sejujurnya bikin saya iri. Karena, meski orang-orang bilang itu adalah kesalahan terburuknya di masa lalu, dia nggak pernah memperlakukan kamu seperti sebuah kesalahan. Nggak semua orang sanggup ngelakuin apa yang dilakuin papa kamu, Nya. Bahkan orang tua saya saja nggak sanggup." Tutupnya sambil menepuk punggungku lembut.

.

.

.

Tbc

Hai Om! ▪Jaehyun▪Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang