⚠️Cerita ini bisa dibaca tanpa harus "mengikuti" RETISALYA yang pertama⚠️
Kata mereka, perginya di tengah jalan. Tiada pamit terlontar sebelum pulang. Meninggalkan orang-orang bersama kerinduan terbalut penyesalan.
Waktu itu mentari siang menjadi sa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Asystole.
“Sembilan lewat dua puluh delapan,” gumam pria tersebut. Sangat pelan, pandangannya tertuju lekat pada remaja yang terbaring setelah tadi mengecek ektrokardiogram. Masih dengan tangan yang menyentuh leher pemuda tersebut, mencoba memeriksa sekali lagi.
Beralih untuk membuka kelopak mata yang tertutup—lagi. Mengarahkan cahaya untuk melihat lingkaran paling kecil pada kedua bola mata. Ukurannya tetap, tak ada perubahan.
“Tolong periksa,” pintanya pada sang rekan. Berdoa, semoga pemeriksaannya yang salah.
Pria di sebelah laki-laki barusan menurut. Kembali melirik ke arah ektrokardiogram; masih sama. Lalu mengecek nadi. Semua rangkaian diulangi. Sebelum pada akhirnya dia menghela napas, menggeleng ke semua orang dalam ruangan. “Waktu kematian jam sembilan lewat dua puluh delapan menit.”
Pria yang sebelumnya langsung beku ketika mendengar penuturan sang rekan. Lalu, kembali melihat tubuh remaja yang dia tangani. “Tunggu, saya cek sekali lagi.”
“Dok, pasien sudah tiada.” Salah satu di antara orang-orang dalam ruangan membuka suara. Tepat ketika melihat pria tadi kembali melakukan pemeriksaan—sudah yang ketiga kali.
Dokter tersebut memejamkan netra saat merasakan panas pada indra penglihat. Mereka gagal. Mereka tidak berhasil mempertahankan. Meski tahu bahwa kematian diluar kuasanya, serta mereka hanyalah sebuah perantara, sedangkan Tuhan pemilik wewenang terhadap manusia. Tetap saja, kecewa tentu ada setiap pasien yang ditangani tak dapat dipertahankan.
“Dia masih muda, masa depannya—” Dia tercekat. Kakinya sangat lemas. Air mata juga jatuh sembari menatap rekan-rekannya satu persatu. Seorang wanita yang cukup muda pun telah menunduk, menyembunyikan tangis yang sudah pecah sejak tadi.
“Bersihkan darah yang tersisa.” Suaranya gemetar. “Pastikan bersih, saya akan memanggil keluarganya.”
Namun, bukannya pergi seperti yang direncanakan. Diri malah menetap. Matanya mengamati ketika tubuh remaja tadi dibersihkan. Buru-buru air mata dihapus kasar, kemudian menarik napas dalam. Berusaha tenang secepat mungkin agar bisa menghadapi keluarga pasien.
“Dia seumuran sama anak saya.”
Pria tersebut menatap perawat yang sedang membersihkan sisa darah, tidak mungkin membiarkan keluarga menemui pasien dengan keadaan ‘kotor’.