𝙊𝙧𝙖𝙣𝙜𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙞𝙨𝙖 𝙥𝙚𝙧𝙜𝙞. 𝙉𝙖𝙢𝙪𝙣, 𝙠𝙚𝙣𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣𝙣𝙮𝙖 𝙨𝙚𝙡𝙖𝙡𝙪 𝙖𝙗𝙖𝙙𝙞.
-dɑri yɑng tidɑk bisɑ melupɑkɑn-
“Pa, ampun. Ampun, Pa. Sakit.”
Kalimat barusan adalah hal yang menjadikan pria paruh baya membuka mata. Suara yang sangat jelas, putaran kejadian masa lampau saat dia memukul sang anak bungsu di umur sangat belia dengan tangannya sendiri. Danu lakukan saat mendengar anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar itu bertengkar hingga saling pukul dengan temannya. Saat di mana anak itu meminta ampun agar tidak dipukuli, tetapi Danu memilih menulikan telinga. Semua dengan tanpa diminta malah tayang begitu saja.
Dia masih bertahan dalam posisi bersandar di tembok dan duduk pada lantai dingin. Semalam dia terlelap dalam ruangan ini tanpa sadar. Menghela napas pelan, tubuh dibangkitkan sesudahnya melirik jam yang menunjuk angka tujuh lewat—dia kesiangan.
Dengan perlahan langkah kakinya menuju pintu. Namun, sebelum benar-benar pergi dan menutup kembali benda tadi dari luar, Danu menyempatkan untuk mengedarkan pandangan ke dalam ruangan. Meneliti kamar yang tak banyak berubah. Bahkan sepertinya tidak ada perubahan yang anaknya lakukan sedari ruangan ini ditempati.
Memejamkan netra sejenak demi menetralkan rasa aneh yang berhasil membuatnya perih. Kamar ini memang sering kosong, tetapi mulai sekarang benar-benar akan kosong. Tak lama kemudian, saat hati sudah dimantapkan untuk melenggang pergi, pintu kamar benar-benar ditutupnya rapat secara pelan.
Setiap geraknya menuruni tangga, semakin sadar pula bahwa rumah akan semakin sepi setelah ini.
“Pagi Pak.” Bi' Evi menyapa dengan senyum tipis saat melihat hadirnya Danu yang baru turun ke lantai satu. Merasa miris saat melihat wajah kusam pemilik rumah ini.
Danu hanya mengangguk.
“Mau saya buatkan kopi?”
Kini gelengan diberikan. “Buatin makanan aja buat istri saya.”
“Baik Pak.”
Setelahnya, tanpa menunggu lagi, Danu melanjutkan gerak menuju ke arah kamarnya.
Tangis sang istri yang sedang bersandar di dipan dengan tangan memeluk tekukan kaki adalah yang menyambut kedatangan pria paruh baya. Masih pagi, tetapi wanita tersebut sudah menangis dengan pandangan yang terus menatap sesuatu di atas kasur—hanya berjarak beberapa sentimeter dari tempatnya, yaitu foto Azkan, Arkan, dan Alvaro ketika kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
RETISALYA 2
Fiksi Remaja⚠️Cerita ini bisa dibaca tanpa harus "mengikuti" RETISALYA yang pertama⚠️ Kata mereka, perginya di tengah jalan. Tiada pamit terlontar sebelum pulang. Meninggalkan orang-orang bersama kerinduan terbalut penyesalan. Waktu itu mentari siang menjadi sa...