⚠️Cerita ini bisa dibaca tanpa harus "mengikuti" RETISALYA yang pertama⚠️
Kata mereka, perginya di tengah jalan. Tiada pamit terlontar sebelum pulang. Meninggalkan orang-orang bersama kerinduan terbalut penyesalan.
Waktu itu mentari siang menjadi sa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
“Bagus. Gede juga nyali kamu nginjekin kaki sekarang.”
Mendengar sindiran tadi, remaja berjaket menghentikan langkahnya. Menoleh ke arah ruang santai yang harus dilewati jika ingin pergi ke tangga menuju kamar. Di sana ada dua orang paruh baya dengan seorang remaja yang memiliki paras yang persis dengan miliknya.
Pria dewasa bangkit dari duduk, berjalan mendekat ke arah sang anak bungsu sembari menenteng bantal sofa, yang kemudian dilempar dengan sekuat tenaga ke arah wajah remaja di hadapan.
Melihat bagaimana kembarannya diperlakukan. Azkan bangkit berusaha mendekat, tetapi sebelum itu terjadi, suara tamparan menggema dalam ruangan. Menjadikan si ibu buru-buru mencekal lengan anak keduanya. Takut jika Azkan mendekat bisa terluka—meski kemungkinannya sangat kecil sebab Danu tak pernah main tangan pada anak tengah mereka.
Sembari menunjuk tepat ke wajah Arkan. Danu berujar, “Sok jagoan. Bangga kamu saya dipanggil untuk kesekian kali karna kamu udah berhasil buat babak belur anak orang!”
Tangan yang lebih muda terkepal. Panas menjalar di wajahnya. Luka pada wajah masih baru, dan sekarang malah ditambah dengan tamparan. Tadi di sekolah dia memang bertengkar, mengakibatkan mereka sama-sama harus dilarikan ke rumah sakit. Saat di ruangan, Danu memang tak meliriknya sama sekali, langsung mengurusi segala hal dengan guru dan keluarga lawannya.
Danu sengaja tidak ‘menjenguk’ sang anak. Memilih langsung kembali ke rumah setelah mengurusi segala hal. Meninggalkan Arkan yang sudah ditemani kedua sahabatnya. Danu kesal, tetapi tak ingin berbuat keributan di rumah sakit.
“Bangga kamu ngebuat saya harus ngerendahin harga diri saya buat mohon-mohon maaf di hadapan banyak orang! Ngerasa hebat hah!”
Tepat ketika kalimat terakhir selesai diucapkan, Danu menarik kerah jaket milik Arkan sebelum mendorongnya keras hingga menabrak dinding. Lawannya sang anak mendapat luka lebih banyak, bahkan mereka juga sempat mengancam akan membawa kasusnya menuju ke kepolisian. Namun, setelah pihak guru menjelaskan. Kedua pihak sama-sama paham hingga berakhir damai.
“Udah, Pa,” pinta Azkan setelah berhasil melepas cekalan tangan milik ibu. Berlari untuk berdiri di hadapan sang kembaran. Menghalau ayah agar berhenti memperlakukan saudaranya sekeras barusan. “Mereka salah juga, mereka mulai duluan—”
“Belain terus adik kamu itu,” sanggah Danu. “Kalo mereka mulai duluan, seharusnya dia hirauin aja. Pada dasarnya dia itu kayak preman—”
“Mereka tiga orang. Udah siap ngeroyok saya. Anda pikir saya bakalan diem aja?”