18. Kuat

922 84 4
                                    

𝙎𝙚𝙖𝙣𝙙𝙖𝙞𝙣𝙮𝙖. 𝙆𝙖𝙩𝙖 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙞𝙧𝙞𝙣𝙜 𝙨𝙚𝙨𝙖𝙡 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙧𝙪𝙨 𝙢𝙚𝙣𝙟𝙖𝙙𝙞 𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣.

—dɑri yɑng berhɑrɑp, lɑlu sɑdɑr—

“Seandainya aku gak egois cuma mikirin gimana hidupku berjalan, seandainya aku kuliah di Jakarta atau setidaknya sering pulang, tanyain apa yang mengganggunya, jadi pendengar untuk dia yang selalu dituntut diam, jalan cerita dan akhir milik ponaka...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Seandainya aku gak egois cuma mikirin gimana hidupku berjalan, seandainya aku kuliah di Jakarta atau setidaknya sering pulang, tanyain apa yang mengganggunya, jadi pendengar untuk dia yang selalu dituntut diam, jalan cerita dan akhir milik ponakanku gak akan sesakit ini kan, Mas?”

Getar nadanya, bagaimana sendu netra pandangi banyaknya piagam dengan tubuh didudukkan pada tepi kasur, berhasil buat pria di sebelah mengambil napas agar bisa setenang mungkin dalam beri tanggapan.

“Kalo bicara mengenai ‘seandainya’ aku juga ngerasa betul bahwa aku pun bertanggung jawab atas akhir punya Arkan. Di mana seandainya aku lebih ngotot buat deket, saat bergabungnya aku dalam keluarga kamu, dia tanggapi dengan cuek.

“Seandainya aku gak balik bersikap bodo ametan, nganggep bahwa dekat dengan Al dan Azkan sudah cukup sehingga aku ambil seadanya aja sama Arkan. Seandainya komunikasi kami bagus, seenggaknya gak bakal ‘seburuk’ ini.”

Rizal hadapkan diri untuk fokus kepada sang istri, duduk menyerong agar lebih nyaman. Lalu lanjut berujar, “Tapi, mau sebanyak apapun kita menyalahkan, baik diri sendiri atau yang lain, ‘sandainya’ gak akan pernah berguna. Tuhan itu perangkai cerita terhebat, baik saat manusia menganggapnya bagus atau buruk, pasti ada hal istimewa yang begitu berharga.

“Dari Arkan kita semakin ditegaskan kalo apa yang ditampakkan oleh setiap manusia belumlah seluruhnya, sehingga kita harus hati-hati dalam menilai dan bertindak. Kita juga diperingatkan agar ke depannya lebih saling menghargai dan peduli pada sesama.”

Mendengarnya, Dira tundukkan pandangan. Tangisnya dalam diam adalah bentuk dari sesal yang hingga sekarang masih dirasa. Buat Rizal julurkan kedua tangan ke bahu sang istri, sedikit meremat untuk peringatan bahwa di sini, ada dirinya yang akan bagi kuat—walau tak banyak.

“Dir, semua manusia itu punya batas dalam hal waktu, dan Arkan sudah sampai di batasnya. Mungkin menurut kita terlalu awal, tapi gimana kalo ternyata, ini lebih baik dari pada dia menetap? Sekarang, Arkan udah gak ngerasain sakit, gak akan dicaci atau dipukul lagi. Mungkin, Tuhan juga gak mau Arkan nunggu terlalu lama buat kita sembuhin. Jadi, Dia ‘ambil’ untuk segera diobatin sendiri.”

Air mata dihapusnya dengan segera, setidaknya rangkain kata barusan berhasil dia cerna. Wajah pun didongakkan, pandangi netra Rizal yang memandangnya lekat.

“Gak semua akhir akan bahagia. Sekarang, tugas kita adalah perlahan-lahan untuk nerima ketetapan Tuhan dengan lapang dada. Semua fase pasti menuju akhir, dan tentu butuh waktu. Jadi kalo kita gak pernah mulai, kita gak akan pernah selesai. Pada akhirnya bakalan terus-terusan ada di titik yang sama, lalu ngerasain sakit berulang-ulang,” lanjut Rizal. Berhasil tarik Dira untuk masuk ke dalam sebuah pelukan berisi tenang.

RETISALYA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang