06. 𝚂𝚎𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝙳𝚒𝚊 𝙿𝚎𝚛𝚐𝚒

874 105 40
                                    

“Mama Papa bakalan pergi lama, kamu baik-baik di sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Mama Papa bakalan pergi lama, kamu baik-baik di sini. Jangan nakal. Jangan buat Kak Al sama Bibi’ repot. Paham?”

Anak berumur delapan tahun tersebut mengangguk. “Arkan nanti boleh nelpon, Mama kan?”

Sang ibu mengiyakan. Mengelus lembut surai sang anak bungsu. Mereka akan pergi sekitar dua bulanan—sesuai rencana. Dokter mengatakan bahwa Azkan harus dibedah, sedang di Indonesia belum mumpuni untuk melakukan, hingga mereka pun dirujuk ke Singapura.

“Papa berangkat,” pamit sang ayah. “Kalian belajar yang bener.”

“Iya, Pa.”

Mendengar ucapan Danu, Arkan hanya mengangguk. Memilih menatap ke arah kembarannya yang sedang duduk di kursi roda. “Bye, Kak Aska! Semangat, ya. Kak Aska cepet sembuh, oke? Biar kita bisa main bareng lagi.”

Ada banyak do’a dan harapan yang waktu itu Arkan kecil gemakan. Terutama semoga Kak Askanya sembuh dari sakit. Dia tak suka saat melihat raut pucat kembarannya. Atau Kak Aska yang menangis sebab merasa sakit di dada ketika dia berkunjung ke rumah sakit.

--

“Bibi’ Arkan boleh telpon Mama, gak? Kangen,” pinta anak berumur delapan tahun tersebut. Sudah hampir empat hari dia tidak mendapat kabar dari kedua orang tuanya, terakhir kali mereka melakukan panggilan vidio dan ibu mengatakan bahwa operasi kembarannya berhasil.

“Jangan dulu ya? Mama Papa lagi sibuk di sana. Kan, Kak Aska baru selesai operasi.”

“Kangen,” rengeknya.

Sang wanita paruh baya mengelus pundak kecil tersebut pelan. “Sabar, ya? Nanti kalo gak sibuk. Papa sama Mama pasti nelpon, kok.”

“Gak mau!” tegas Arkan. “Mau liat Mama!”

Dengan penuh pertimbangan, asisten rumah tangga tadi pun mengeluarkan handphonenya. Mengirim pesan kepada Rena untuk memberitahu tentang Arkan yang ingin bicara. Karena tak kunjung dibaca dan dibalas, pada akhirnya dia memberanikan diri untuk menelepon.

“Halo, Bi’. Kenapa?”

“Ini, Arkan mau bicara, Bu. Vidio call, bisa, Bu?”

Terdengar helaan napas di seberang. Membuat si penelepon menjadi tak enak hati. Wanita paruh baya pun menatap nanar ke arah anak delapan tahun yang kini memandangnya penuh harap.

“Duh, Bi’. Arkan itu ada-ada aja permintaannya. Saya lagi mau makan dulu ini. Bilangin, nanti aja saya vidio callnya.”

“Baik, Bu. Maaf menganggu.”

“Iya.”

Setelahnya panggilan dimatikan.

“Mama sibuk, Nak. Tapi katanya nanti mau vidio call, kok.”

RETISALYA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang