Peluru pertama.
Dadanya tersentak. Digerayangi benda asing yang menciptakan panas menjalar.
Peluru kedua.
Tubuhnya ambruk. Tersangga orang di belakang.
Anyir. Pakaian bagian depan sudah terasa sangat basah.
Pandangannya mulai buram, bersamaan dengan detik yang serasa enggan menjadi temannya lagi. Pun suara sekitar yang tak bisa ditangkap.
Diraihnya tangan asal. Mencengkram lengan entah siapa. Berusaha menyalurkan sakit yang dirasa. Sungguh, seluruh badan serasa kebas kecuali dadanya yang panas.
“Lo harus kuat, paham?”
Samar-samar kalimat tadi dapat didengar. Sebisanya, anggukan berusaha dilayangkan.
“Bagus. Gue pegang janji lo.”
Janji. Hal yang begitu dirinya junjung tinggi. Apakah sanggup dia menepati? Sedang sekarang mati sudah menggumamkan bahwa dirinya telah dinanti.
Tangannya mulai lemas. Melepas cengkraman. Sanggupnya sudah tiada karena tenaga hilang entah kemana. Yang pasti, setiap saat rasa sakit semakin menunjukkan diri. Berteriak bahwa dialah yang berhak menguasi, mengusir rasa yang lain.
Pandangan buramnya berputar. Sungguh, panas sekali. Sakit … perih.
Inikah karmanya? Jika iya, sungguh, rasanya begitu cukup dalam menjadi hukuman. Sekarang bahkan melewati batas luka yang mampu ditahan.
Ditanya sesal? Tidak. Jika tubuh enggan dia paksa sebagai tameng, mereka yang akan terluka. Jangan, dia tak sanggup salah satu orang tersebut merasakan pedihnya. Dia tidak rela.
Sebanyak apapun benci yang dirinya sendiri yakini adalah paling mendominasi, kasih diam-diam masih menetap dalam hati. Muncul ketika perlu, mengusir sakit hati, yaitu sang pemilik tahta tertinggi.
Dalam diri batinnya bergumam. Maaf untuk semua orang yang pernah disakiti olehnya. Maaf untuk egoisnya yang telah menghancurkan mereka. Tidak ada seorang pun yang ia salahkan terhadap bagaimana ceritanya dibuat. Tidak satupun. Dia sendirilah yang bertanggung jawab untuk semua hal tersebut. Kalimat menyalahkan di sebelumnya hanya untuk pengalihan. Pengalihan terhadap kecewanya pada diri sendiri yang membiarkan sakit hati menjadi sahabat abadi.
Sakit hati yang tanpa sengaja menghancurkan kisahnya sendiri. Membuatnya tidak seindah ribuan narasi yang lain.
Maaf telah menjadi orang paling menyebalkan.
Maaf sudah mengacaukan harapan mereka yang sedang berusaha mengobatinya.
Maaf karena menolak yang ingin masuk ke dalam hidupnya. Maaf belum mengizinkan. Dia hanya tidak mau kelamnya tersebar lalu melukai orang-orang tersebut.
Erangnya tertahan. Bibir pun sudah lelah. Tuhan … luka ini terlalu dalam. Sudah tak layak disembuhkan. Haruskah merelakan?
Maaf untuk janji terakhir yang tidak sanggup ditepati. Dia ingin berusaha, tetapi rasanya mati sudah di depan mata. Lari saja percuma. Maaf sudah memberi harapan.
Sakit, batinnya menjerit.
Dia relakan semuanya Tuhan. Semuanya. Tidak lagi sanggup, ingin secepatnya melepas pedih. Berharap mati segera membawanya pergi.
Dia relakan mata yang tidak akan bisa melihat dunia di detik selanjutnya.
Direlakan tubuhnya menyatu dengan tanah. Tak apa, setelahnya dia sudah tidak perlu menggores sehingga lengannya tidak lagi marah karena terus dirusak.
Dia pun ikhlaskan semua rasa sakitnya untuk berhenti beroperasi, sebagai tanda bahwa manusia sudah tak lagi bernyawa. Lagi pula, setelah ini dia tidak usah merasakan hal itu lagi, kan? Bukankah terdengar sangat menyenangkan? Bukanlah hal tersebut yang selalu diinginkan? Sekarang Tuhan berusaha mengabulkan setelah keluhnya semalam. Begitu baik, padahal dia telah hidup jauh dari-Nya.
Tuhan, maaf. Maaf.
Diikhlaskannya semua yang sekarang dirinya punya di dunia. Semuanya.
Harapannya adalah semoga selalu bahagia untuk yang akan dia tinggalkan. Maaf egois. Maaf ingin membahagiakan diri sendiri.
Maaf berhenti di tengah jalan. Maaf.
Matanya mulai terpejam. Semua suara sudah tidak lagi dirasa.
Hening.
Damai.
14 Februari. Hari yang tak akan aku lupakan.
..
“Aku duluan. Tak perlu menyusul. Kita pasti bertemu saat Tuhan mau.
Tak apa, sedih saja semaumu. Tangisi kepergianku. Aku tidak masalah, itu hakmu. Seiring waktu, bukankah sedih tadi akan menjadi biasa sehingga tak sesakit hari-hari sebelumnya?
Pada akhirnya nanti kamu akan terbiasa tanpaku. Tapi, tolong jangan pernah lupakah aku.
Simpan aku untuk menjadi salah satu yang terpenting, boleh?”
—Arkan Bramantio—
[Jum'at, 1 Oktober 2021]
KAMU SEDANG MEMBACA
RETISALYA 2
Novela Juvenil⚠️Cerita ini bisa dibaca tanpa harus "mengikuti" RETISALYA yang pertama⚠️ Kata mereka, perginya di tengah jalan. Tiada pamit terlontar sebelum pulang. Meninggalkan orang-orang bersama kerinduan terbalut penyesalan. Waktu itu mentari siang menjadi sa...