𝙋𝙚𝙧𝙠𝙚𝙡𝙖𝙝𝙞𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙖𝙡𝙞𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙡𝙚𝙡𝙖𝙝𝙠𝙖𝙣 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙗𝙚𝙧𝙠𝙚𝙡𝙖𝙝𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙥𝙞𝙠𝙞𝙧𝙖𝙣𝙠𝙪 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞.
—dɑri yɑng sedɑng mengɑlɑmi—
“Kalo kamu gak keberatan, mungkin kamu bisa berbagi tentang apa saja yang saya tidak ketahui mengenai Arkan.”
Pria paruh baya mulai percakapan. Di sebelahnya, sosok remaja yang tadi pagi lontarkan janji ternyata menepati. Keduanya kini berada di halaman belakang rumah, nikmati malam dengan secangkir kopi dan makanan ringan.
Yang Angga lakukan selama pelaksanaan do’a barusan adalah mengamat, pun sekarang adalah kali pertama dirinya menghadiri acara tahlil. Sambutan dari Danu cukup ‘ramah’. Bahkan Angga duduk tepat di samping pria tersebut. Teman-teman Azkan juga ikut datang, menatapnya tanpa raut sebal seperti yang biasa.
Dengar hal tadi, Angga rasanya ingin tertawa miris. “Bahkan saya pun gak pernah tau siapa itu Arkan yang sebenarnya, dia punya batas yang gak bisa saya lewati. Saya tau dia self injury dan konsumsi obat tidur baru-baru ini. Begitu pula dengan Rumah Singgah dan juga masa lalunya.”
“Setidaknya kamu lebih tau dia dari pada saya sendiri, ayahnya yang taunya mungkin bisa dibilang nol besar,”—Danu melirik sejenak ke arah remaja di sebelahnya sebelum kembali fokuskan diri pada langit kelam—“selama ini, siapa itu Arkan dan bagaimana dia, saya yang menjawabnya sendiri sesuai dengan apa yang saya lihat. Dan ternyata ...
“Dia sama sekali bukan seperti apa yang ada di kepala saya.”
Baru sekarang Angga dengar seoarang Danu, pria yang dikenal dunia penuh wibawa dengan cara bicara tegas, kini nadanya bergetar saat keluarkan kata.
Danu ambil napas dalam, berusaha tenangkan pikiran yang kembali kacau saat bicara tentang dia. Sebelum lanjut bertanya, “Kalian dulu ketemu di mana?”
“Kami dulu satu dojo sebelum Arkan tiba-tiba keluar. Lalu kembali bertemu di SMP, dengan sifatnya yang cukup banyak berubah. Arkan yang dulu saya kenal paling suka punya banyak temen, malah jadi Arkan yang pendiem dan gak suka mulai hubungan dengan orang baru, dia nutup semua akses untuk itu,” jelas Angga. “Saya dan Dimas adalah orang pertama yang kenal dengan rokok, waktu itu saya inget banget kalo Arkan selalu nasehatin kami buat gak terlalu candu, katanya bahaya banget buat kesehatan. Tapi, dia malah jadi orang pertama dari kami bertiga yang nyentuh alkohol.
“Setelah nyentuh alkohol, Arkan mulai berani buat ngerokok. Dia yang dulunya punya prinsip hidup sehat, entah karna apa mulai biasa aja ngerusak tubuh sendiri. Dia mulai ikut balapan, dia tarung bebas juga. Dan yang harus Anda tau adalah, baru sekali kami tawuran, dan sialnya malah ketauan. Tawuran adalah kedok saat muka dia babak belur, yang sebenernya malemnya dia udah main.
KAMU SEDANG MEMBACA
RETISALYA 2
Teen Fiction⚠️Cerita ini bisa dibaca tanpa harus "mengikuti" RETISALYA yang pertama⚠️ Kata mereka, perginya di tengah jalan. Tiada pamit terlontar sebelum pulang. Meninggalkan orang-orang bersama kerinduan terbalut penyesalan. Waktu itu mentari siang menjadi sa...