⚠️Cerita ini bisa dibaca tanpa harus "mengikuti" RETISALYA yang pertama⚠️
Kata mereka, perginya di tengah jalan. Tiada pamit terlontar sebelum pulang. Meninggalkan orang-orang bersama kerinduan terbalut penyesalan.
Waktu itu mentari siang menjadi sa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
“Karate? Buat apa ikut kayak gitu?” Sahutan tadi adalah jawab ketika anak bungsunya meminta persetujuan untuk dimasukkan ke dalam perguruan karate. “Gak ikut les kayak kakak-kakak kamu aja?”
“Arkan maunya ikut karate, Pa. Tadi, nonton di TV. Keren loh.”
Menghela napas, pria tiga puluhan itu lantas bangkit dari duduknya. “Gak boleh. Gak usah ikut bela diri kayak gitu. Papa gak suka. Belajar aja yang bener.”
Setelahnya, langkah sang ayah menjauh dari ruang keluarga. menyisahkan dua orang di sana. Wanita tiga puluh tahunan pun tersenyum tipis pada anaknya, mencoba menenangkan.
“Mama. Bantuin Arkan ya? Tolong bujukin, Papa. Mama mau kan?”
--
“Dapet perunggu? Papa kira juara satu, Ar.”
Senyum anak delapan tahun langsung luntur ketika mendengarnya. Namun, di detik selanjutnya, senyum itu kembali mengembang. “Papa tenang oke? Nanti Arkan janji bakalan dapet banyak emas buat Papa dan Mama.”
--
“Papa, Arkan menang!” seru anak sembilan tahun. Berlari penuh semangat ke arah sang ayah yang baru saja tiba di rumah. Sudah cukup lama berdiam diri di teras rumah untuk menunggu kedatangan ayahnya—demi memperlihatkan apa yang telah dia raih. Untuk pertama kalinya setelah banyaknya hampir dan kalah dia berhasil menang.
Alih-alih senang, melihat medali yang ditenteng sang anak, Danu malah menghela napas. “Udah belajar?”
Arkan kecil menggeleng.
“Yaudah, kamu belajar sana. Udah banyak ketinggalan pelajaran, kan?”
Sebelum beranjak masuk, pria ini menyempatkan untuk kembali bertanya, “Kak Askanya tidur?”
“Iya.”
“Kamu gak nakalin kakaknya, kan?”
Arkan menggeleng lekas. “Enggak, kok.”
--
Danu memandang lesu ke arah sang anak. “Kalah lagi?”
“Lawannya hebat. Jadi, Arkan kalah.”
“Papa berhentiin ya? Fokus ke sekolah aja, oke?”
“Jangan, Pa. Gak lama lagi ada—”
“Kamu itu sering ikut lomba jarang ngeraih posisi pertama. Bahkan yang sekarang kalah, gak masuk final, padahal O2SN juara satu.”
“Kan emang ada masanya kalah menang, Pa. Kata senpai aku cuma perlu ningkatin di kejurnas. Lomba daerah aku udah stabil. Peluang aku tinggi.”
“Papa gak bakal minta kamu berhenti tanpa alasan. Papa begini karna ngeliat kamu terlalu fokus sama karatemu itu, dan malah ngabaiin sekolah. Papa selalu minta laporan dari wali kelasmu, dan nilai-nilaimu jelek banget loh, Ar. Sering gak ngerjain PR juga. Maksud kamu apa, hah?!”