𝙆𝙖𝙩𝙖 𝙢𝙖𝙖𝙛𝙢𝙪 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙟𝙖𝙙𝙞 𝙥𝙚𝙣𝙚𝙣𝙖𝙣𝙜𝙢𝙪, 𝙗𝙪𝙠𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙤𝙗𝙖𝙩𝙞 𝙬𝙖𝙡𝙖𝙪 𝙨𝙚𝙩𝙞𝙩𝙞𝙠 𝙡𝙪𝙠𝙖𝙠𝙪.
—dɑri diɑ yɑng kɑu buɑt sɑkit—
“Besok Azkan bakalan dipindahin ke ruang rawat. Mau jenguk?” tawar Danu. Dia menatap penuh harap kepada sang istri yang kini sedang tidur dengan posisi miring, tetapi netra memandang lurus ke depan. Dalam dekapannya terdapat bingkai berisi foto anak sulung mereka, bukan hanya figura, jaket yang biasanya dipakai oleh anak bungsunya juga Rena peluki.
Sepulang dari rumah sakit—waktu menjenguk telah selesai, dengan orang suruhannya tetap di sana untuk berjaga—dia langsung disambut oleh Dira yang mengatakan bahwa istrinya sedang berada di kamar lantai atas—sebuah ruangan yang begitu kurang keduanya pijaki. Tempat yang bahkan oleh si pemilik jarang ditiduri, sebab lebih pilih istirahat di ‘rumah’ lain yang nyamannya disenangi.
Untuk tanya sebelumnya, hanya anggukan yang jadi tanggapan, buat si pria yang duduk di tepi kasur menjulurkan tangan untuk mengelus pelan bahu istrinya. Ada sesak yang perlahan menjalar ketika dengan mata telanjang menyaksikan bagaimana rapuhnya Rena. Wanita yang kuatnya tak perlu lagi dipertanyakan, jatuh bangun dirinya menemani sang suami untuk menjadi ‘orang’. Wanita yang dulu dengan tegar dan kuat usahakan agar anak tengahnya mampu bertahan.
Sosok Rena, yang dikenal dunia luar biasa hebat. Wanita tangguh yang kini tak lagi bisa untuk kukuh.
“Mama, sama Ibu Guru Arkan dikatain bodoh, soalnya gak bisa hitung-hitungan. Katanya kenapa gak sama kayak Kak Aska?”
“Arkan gak bisa jawab, Ma. Arkan gak tau kenapa Arkan bodoh. Arkan gak tau kenapa Arkan gak sama kayak Kak Aska.”
“Mama, kata temen-temen, Kak Aska hebat bisa jadi juara satu. Emang kalo kembar, yang satunya hebat, yang satunya lagi enggak. Gitu, ya?”
“Mas inget gak, Mas? Dulu, sama guru TK-nya dia pernah dikatain bodoh, dibandingin sama kakaknya. Aku marah, Mas. Aku datengin Guru itu, aku laporin ke Ketua Yayasan buat ditindak lanjuti,”—disekanya air mata yang tiba-tiba mengalir—“tapi, waktu dia besar aku sendiri yang ngatain dia bodoh. Aku cubitin karna dia gak bisa-bisa buat baca. Aku pukulin kalo dia buat salah. Aku bandingin dia sama kakak-kakaknya. Sedangkan untuk Al dan Azkan, sedikit pun aku gak pernah rela ngebiarin tanganku ngelukain mereka. Jangankan tangan, mulutku aja gak pernah berani buat ninggiin nada ke mereka.
“Dia aku jadiin tempat untuk ngeluapin emosiku, Mas. Aku buang semuanya ke dia.”
Meremas seprai, Danu semakin rasa perih menggerogoti diri, sadar bahwa dia ikut andil dalam menyakiti anak bungsunya. Isak milik Rena pun turut mengisi sepinya ruangan. Tak ada lagi penolakan untuk membenarkan, kini keduanya menerima bahwa mereka memang keji.
KAMU SEDANG MEMBACA
RETISALYA 2
Teen Fiction⚠️Cerita ini bisa dibaca tanpa harus "mengikuti" RETISALYA yang pertama⚠️ Kata mereka, perginya di tengah jalan. Tiada pamit terlontar sebelum pulang. Meninggalkan orang-orang bersama kerinduan terbalut penyesalan. Waktu itu mentari siang menjadi sa...