12. Penjelasan

689 79 7
                                    

𝙔𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙞𝙘𝙖𝙧𝙞 𝙞𝙩𝙪, 𝙧𝙪𝙢𝙖𝙝 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙬𝙖𝙡𝙖𝙪 𝙗𝙞𝙖𝙨𝙖 𝙩𝙖𝙥𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙢𝙖𝙣.

-dɑri yɑng mɑsih mencɑri rumɑh-

“Bunda pengen tau semuanya, Dim

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Bunda pengen tau semuanya, Dim. Tolong jelasin.”

Mendengarnya, Dimas menyiapkan hati sejenak sebelum berucap, “Kakaknya Arkan kecelakaan, dicelakai temannya hingga meninggal. Beberapa hari setelahnya, Arkan juga kecelakaan. Setelah itu dia dibawa ke rumah sakit. Dirawat beberapa hari di sana, sebelum akhirnya, hari Sabtu pagi diperbolehkan pulang. Saat di parkiran rumah sakit—”

Merasa sesak, Dimas berhenti bicara. Mendiamkan jantungnya yang berdenyut tak nyaman. Menyadari hal tersebut, Bunda Elina pun tak buru-buru meminta agar pemuda di hadapannya segera melanjutkan.

“Tiba-tiba ada seorang polisi, dia nodongin pistol ke arah orang tua dan kembarannya Arkan. Arkan yang ngeliat langsung berdiri di depan keluarganya, aku sama Angga gak sempet nyegah dia ngelakuin hal itu. Tepat saat Arkan berdiri di depan keluarganya, polisi itu ngelepasin pelurunya. Dua kali.”

Dua kali. Kata tersebut langsung menjadikan Bunda Elina beku ditempat. Lemas, kakinya seakan tak bertulang lagi.

“Dua kali, tepat di dada Arkan.”

Dimas kini mengalihkan pandangan. Menatap tepat kepada sang sahabat yang juga memandang ke arahnya saat Angga melontarkan kalimat barusan. Dan ketika baru saja menyelesaikan lontarannya, Elina terlihat langsung memejamkan netra, seiring dengan jatuhnya air mata.

Angga kini ikut menutup mata dengan tangan kanan, menyeka cairan bening yang akan hadir tanpa diminta. Sebelum menghela napas demi menenangkan diri. Membahas bagaimana hari Sabtu meruntuhkan dirinya, Angga masih tak kuat hati.

“Kami belum tau motif dari penembakan, Bun,” lanjut Dimas. Tanpa sadar, suaranya bergetar. Tidak dia ceritakan mengenai Arkan yang sudah melakukan tindakan bunuh diri, atau mengenai depresi serta masalalu sang sahabat. Hingga saat ini, Dimas masih merasa dia tidak pantas untuk menyampaikan hal tersebut. Sebab, dia sendiri pun saat disuruh mengulang merasa tak sanggup mengatakan.

“Maaf, seharusnya aku nyegah dia,” pinta Angga. Pandangannya menerawang. “Seandainya aku lebih peka. Lebih cekatan. Dia pasti masih di sini.”

Angga menundukkan pandangan ketika mata rasanya memanas. “Seandainya—seandainya ... dia gak akan pergi. Gak akan.”

Elina membuka mata, menggelengkan kepala keras mendapati pernyataan barusan dengan air mata yang mengalir deras. “Bukan. Kamu gak salah apa-apa.”

Angga memejamkan mata. Bisa Dimas dan Elina lihat bahu remaja tersebut sedikit bergetar. Menangis, Angga menangis dalam diam. “Maaf ... maaf ....”

--

Meski terik, dua orang remaja yang mengantar wanita paruh baya tetap mendekat ke arah makam anyar. Saat sampai, gundukan tersebut ternyata semakin bertambah saja bunga-bunganya.

RETISALYA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang