“Diem, Dim.”
Tadi bukanlah sebuah protesan dengan nada seperti biasanya—ketus dan kesal. Nada tadi terdengar pelan, tetapi memaknai frustasi di dalamnya sangatlah gampang. Orang yang diminta untuk berhenti melontarkan kata pun segera mengatupkan mulut, berhenti membicarakan hal-hal tak terlalu penting—seperti mengapa berita di televisi yang menayangkan anak artis yang katanya sakit, atau seorang penyanyi yang bertingkah ‘sederhana’ sebab makan di pedagang kaki lima.
“Makan. Gak usah bicara terus,” suruh Angga. Kemudian lanjut untuk menyuapkan makanannya sendiri ke dalam mulut.
Dimas nyengir tanda setuju, lalu benar-benar kembali fokus pada nasinya—hal yang terakhir kali dia sentuh kemarin siang. “Habis ini ke Rumah Singah yuk, Ga. Kangen sama anak-anak nih. Mau yaa ...?”
Mendengarnya, sendok di tangan langsung Angga letakkan asal pada piring. Rumah Singgah. Dadanya tiba-tiba saja panas mendengar hal barusan. Berpikir mengenai bagaimanakah reaksi mereka saat dia membawa kabar buruk. Atau bahkan, apakah dia bisa menyaksikan ‘keadaan’ mereka yang mungkin telah mengetahui berita buruk tersebut dari berita di tv atau koran pagi ini.
“Lain kali,” putus Angga.
Dimas menggeleng. Menghentikan tegukannya terhadap minuman. “Hari ini aja. Kan—”
“Lo siap ngejawab pertanyaan-pertanyaan dari mereka?” sanggah Angga. “Atau, apa hati lo udah siap ngeliat reaksi mereka semua?”
Mengepal tangan kanan sebagai bentuk menyalurkan kegelisahan. Namun, wajahnya malah menampilkan reaksi tenang. “Kasian kalo gak dikasih tau. Bunda Elina juga pasti nunggu kabar dari kita. Beliau udah nelpon gue dari hari Sabtu tapi gak gue angkat sampek sekarang.”
Hening. Angga terlihat masih melakukan perperangan antara menolak dan mengiyakan. Pada akhirnya, anggukan adalah keputusan. Angga bukan lagi mementingkan kesiapan dirinya, tetapi mengenai mereka yang pasti membutuhkan kabar—meski televisi tidak mungkin menyebarkan berita palsu mengenai hidup matinya seseorang.
“Yaudah, habis ini langsung ke Rumah Singgah, oke?”
“Hm,” sahut Angga.
Mereka pun kembali pada sibuknya memakan makanan masing-masing. Tidak lagi dibumbui oleh celotehan Dimas, sebab remaja ini takut ‘ditegur’ lagi oleh sang sahabat. Lebih baik diam dulu sebentar.
“Lo kemaren ke mana?” tanya Angga. Memulai lagi percakapan. Sebab, jujur saja dia sudah ogah-ogahan dalam menghabiskan nasi di hadapan.
“Gak ke mana-mana.”
Angga menatap ke arah Dimas sebelum berujar, “Nangis di kamar?”
“Enggak tuh, gue kan strong. Anti nangis-nangis klub.”
“Ketara banget bohongnya,” sindir Angga. Tadi pagi saat di telepon, dia mengira bahwa Dimas tidak separah dirinya, tetapi saat melihat langsung keadaan mata Dimas sekarang ini, dia dibuat tahu betul bahwa sang sahabat mungkin sudah menangis tanpa henti.
KAMU SEDANG MEMBACA
RETISALYA 2
Teen Fiction⚠️Cerita ini bisa dibaca tanpa harus "mengikuti" RETISALYA yang pertama⚠️ Kata mereka, perginya di tengah jalan. Tiada pamit terlontar sebelum pulang. Meninggalkan orang-orang bersama kerinduan terbalut penyesalan. Waktu itu mentari siang menjadi sa...