⚠️Cerita ini bisa dibaca tanpa harus "mengikuti" RETISALYA yang pertama⚠️
Kata mereka, perginya di tengah jalan. Tiada pamit terlontar sebelum pulang. Meninggalkan orang-orang bersama kerinduan terbalut penyesalan.
Waktu itu mentari siang menjadi sa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
“Kalo udah waktunya lo mati, lo bakalan mati. Dan itu bakal terjadi tanpa harus bunuh diri. Tinggal tunggu. Bisa aja gue duluan. Atau lo, atau Angga. Gak usah repot-repot mikirin hal yang seharusnya gak usah dipikirin.”
Arkan pernah mengatakannya. Dulu, ketika Dimas patah hati akibat kisah asmara dan lelah dengan segala bentuk kehilangan. Menjadikan pertanyaan random dari Dimas mengenai; bagaimanakah reaksi kedua sahabatnya jika dia bunuh diri.
Arkan melontarkan kalimat tersebut berbulan-bulan sebelumnya, sudah lumayan lama. Namun, dua minggu lalu sahabatnya malah berusaha mengakhiri hidup di rumah milik Angga.
Arkan juga berjanji ingin bertahan setelah dua buah peluru bersarang tepat di dadanya. Namun, bisa lihat apa yang saat ini terjadi bukan?
Jadi, sekeras apapun manusia membuat rencana, jika Tuhan enggan iyakan, semua hanya akan berakhir sebagai angan.
Sudah menginjak hari kedua setelah kepergian sosok Arkan. Pemuda bernetra sayu ini sedang bersender pada dipan dengan pandangannya yang lurus ke arah depan. Banyak yang mengisi kepalanya, terutama mengenai kenangan bersama dia.
Mengenai awal mereka bertemu yang setelahnya, meski sudah ‘bersama’ tetap jarang bicara. Bahkan, saling sapa pun tak pernah. Sama-sama memiliki sifat pendiam menjadikan waktu mereka hingga mencapai akrab begitu panjang. Hingga, waktu—ditambah Dimas—menjadikan mereka bisa sedekat sekarang.
Jujur, berteman dengan Arkan tidak pernah melintas dalam ingin barang sejenak. Sebab, dulu selain sama-sama pendiam hingga Angga paham bahwa mereka akan sulit berteman karena tak ada yang memulai percakapan, status Arkan juga menjadi pertimbangan. Arkan bukan berasal dari keluarga yang ekonominya berada dalam tingkatan biasa.
Meski dulu sewaktu di dojo sang sahabat begitu ramah terhadap semua orang, tetapi melihat perubahan Arkan menjadikan Angga tidak lagi menganggap Arkan itu ramah. Apalagi setelah orang-orang mencap sahabatnya sebagai pemuda yang sombong—Angga lagi-lagi mempertimbangan hal tersebut, tetapi entah mengapa, sosok Dimas berhasil meyakinkan sehingga menjauh tak dilaksanakan.
Namun, setelah dekat dan persahabatannya sedalam sekarang. Angga berani mengucapkan, Arkan jauh dari yang orang-orang bayangkan. Banyak kejutan dari sifatnya.