20. Rekontruksi

797 76 4
                                    

𝙏𝙤𝙡𝙤𝙣𝙜 𝙠𝙪𝙖𝙩𝙠𝙖𝙣

—dɑri yɑng sedɑng berjuɑng—

Rumah Sakit Wedispra, 21 Februari, Sabtu pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rumah Sakit Wedispra, 21 Februari, Sabtu pagi.

Garis polisi terbentang tunjukkan batas yang tak boleh dilanggar masyarakat sekitar, penjagaan ketat di setiap sudut takut adanya kericuhan, puluhan aparat dengan tugasnya masing-masing, serta banyaknya media dengan tujuan meliput langsung sebuah berita—yang berhasil tarik perhatian umum—warnai jalannya rekontruksi kali ini.

Adegan demi adegan di jalani, ketertiban pun berusaha ditetapkan. Namun, saat rekontruksi sampai pada tahap akhir, kesal yang dipendam sedari tadi sebab berhadapan langsung dengan pelaku perenggut nyawa anaknya—Ibu mana yang tahan untuk tidak memaki—maka, di hadapan banyak orang, wanita tersebut berusaha menghampiri pelaku sembari berteriak, “Bajingan kamu! Dasar iblis biadab! Anak saya gak punya salah sama kamu, kenapa kamu bunuh!”

Aparat pun berusaha mengamankan tersangka, sedangkan Rena sudah ditahan oleh Azkan di dalam rengkuhannya. Begitu pula dengan Danu yang ikut tenangkan, bagaimana pun emosinya yang minta dikeluarkan, pria paruh baya tetap berusaha tak buat bising juga tegar agar mampu jadi tumpuan sang istri juga anak.

“Azkan ... lepasin Mama ... lepasin! Dia yang udah bunuh Adek kamu,” adu Rena sembari memandang tajam serta menunjuk tegas pada pelaku. “Dia yang bunuh Adek kamu ... dia yang buat Arkan pergi ... pembunuh!”

Kata tersebut menjadi akhir dari teriakan penuh amarah seorang Ibu, sebab wanita tersebut langsung tak sadarkan diri dalam rengkuhan sang anak, buat beberapa petugas bergerak untuk lekas membantu. Sedangkan di sisi lain, seorang remaja yang sedari dimulainya rekontruksi pilih tak banyak bicara, tetapi netranya menghunus sinis pada pelaku, langsung berlari dan mendorong para aparat untuk berhenti mengamankan tertuntut.

Dimas, pemuda tersebut cengkram erat kerah baju milik pelaku, lalu tanpa basa-basi dilayangkannya bogeman keras. Aksi tersebut mengundang kamera media, begitupula beberapa polisi yang berusaha hentikan tindakannya. Tubuhnya tersungkur di tanah sebab tarikan kedua pria berseragam, cekal erat kedua lengan si pemuda tujuh belas tahun agar tak semakin buat keributan.

“Tunggu,” lirih Dimas. Namun, mampu buat langkah para aparat yang ingin mengamankan pelaku ke dalam mobil henti akibat pintanya.

Masih dengan kedua lengan ditahan oleh para polisi yang turut berjongkok untuk samakan posisi, Dimas pandangi pria paruh baya dengan netra kalut pancarkan duka. “Lo orang terbejat yang pernah gue temui, lo udah ambil nyawa seseorang yang mati-matian kami minta untuk mau tetap hidup. Lo ambil nyawa seseorang yang berusaha bangkit setengah mati buat bertahan.”

“Pangkat tinggi lo di mata gue malah keliatan sampah!”—Dimas diam sejenak, berusaha netralkan napasnya yang memburu tak karuan—“Bahkan sebutan anjing pun masih bagus buat lo. Kalo ada tempat terburuk dari pada neraka, gue jadi orang pertama yang bakalan sujud buat minta ke Tuhan biar lo jadi penghuni pertama.”

RETISALYA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang