⚠️Cerita ini bisa dibaca tanpa harus "mengikuti" RETISALYA yang pertama⚠️
Kata mereka, perginya di tengah jalan. Tiada pamit terlontar sebelum pulang. Meninggalkan orang-orang bersama kerinduan terbalut penyesalan.
Waktu itu mentari siang menjadi sa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Inspektur Jenderal Polisi M. Rasyid, pria paruh baya yang menjadi pejabat Kapolda tersebut melangkah yakin keluar dari kantor penyidikan. Para ajudan juga sontak mengelilingi sang Irjen, menjaga pria tersebut dari desakan para wartawan yang mulai ramai melontarkan tanya. Kemudian, pandangan tegas Rasyid terlontar untuk menyatakan kuasa, sebuah peringatan agar jurnalis di sekeliling tak ‘menyentuhnya’ lebih dekat. Lantas, sebuah tanya dari seorang reporter pun dia tanggapi, menjadikan yang lain segera mendekatkan alat perekam suara masing-masing.
“Tadi di dalam saya terbuka kepada para penyidik, apa yang mereka tanyakan, saya jawab sebenar-benarnya. Tentu saya sangat mendukung kasus yang menyita perhatian masyarakat luas ini agar dalam setiap prosesnya berjalan lancar.”
“Tapi Pak, dari berita yang beredar Bapak terindikasi ingin ikut ‘memalsukan’ kasus ini.”
Kalimat tersebut sontak membuat Rasyid segera berkata, “Kami sudah bersahabat sejak lama, dia seperti Adik saya sendiri. Dan berita tentang kami yang katanya bersekongkol untuk penyederhanaan sanksi itu hoax. Brigjen ke kantor waktu itu, nangis ke saya, ngadu kalo istri dan anaknya meninggal di hari yang sama. Itu kan moral support. Saya juga heran tiba-tiba Ajudan kepercayaan Wakapolda bisa memberi pernyataan tersebut. Patut dipertanyakan maksudnya dia itu apa, kan gitu.”
“Berarti saat pertemuan dengan Brigjen tidak ‘mendiskusikan’ apa pun, Pak?”
“Tidak ada ‘diskusi’. Waktu itu saya menyarankan beliau untuk istirahat, tapi kurang dari satu jam tiba-tiba dateng lagi ke kantor buat nyerahin diri. Saya rasa waktu itu dia lagi kalut, emosinya gak stabil. Apalagi keluarga korban yang secara tidak langsung membuat Brigjen kehilangan satu-satunya keluarga yang dia miliki.”
“Tapi, Pak. Briptu AF—”
“Saya tidak mau menanggapi pernyataan-pernyataan dari Ajudan itu. Dan saya harap, Bareskrim tidak hanya mendengarkan salah satu pihak,” potong Rasyid. “Saya juga berharap masyarakat tidak menyudutkan satu pihak, tapi juga menelaah sudut pandang dari pihak lain. Karna bagaimana pun mereka sama-sama kehilangan. Masyarakat harus cerdas dalam mengamati kasus ini.”
Rangkaian kata tersebut menjadi pengakhir sebelum pria paruh baya lanjut melangkah pergi. Para ajudan turut memberi pengertian bahwa sang Irjen terburu-buru sebab mempunyai urusan lain, menjadikan para wartawan memberi ruang agar sang Kapolda dapat menyelesaikan tugasnya.
...
Ada helaan napas yang Danu lontarkan ketika baru saja keluar, tetapi sudah dinanti oleh banyaknya jurnalis dari berbagai media. Diliriknya sang anak yang berada di sisi kiri, seolah memberi pernyataan jikalau pria paruh baya tersebut akan langsung berdiskusi dengan sang pengacara—meminta bantuan Azkan untuk mengurusi wartawan tersebut—dan menunggu remaja tujuh belas tahun di mobil.