Arkan bukan orang baik yang ramah. Dia kasar, ucapannya ketus. Laki-laki yang sudah pasti dijauhi oleh wanita.
Arkan perokok dan pemabuk. Sering balap liar dan tarung bebas. Sama sekali tidak patuh terhadap aturan. Jauh dari kata pria idaman.
Arkan pembangkang terhadap orang tua. Cowok yang begitu dibenci oleh wanita.
Arkan bukan remaja pintar yang bisa menduduki peringkat sepuluh besar di kelas. Bukan murid kesayangan guru. Jelas-jelas mereka menggosipi untuk mencela kenakalannya. Preman, begitu penilaian orang-orang saat melihat wajahnya yang sering dipenuhi lebam, ditambah setelah tahu karate adalah yang dia geluti.
Arkan bukan si idola sekolah yang dipuja hingga dikejar-kejar wanita. Sebagian besar dari mereka bahkan memilih serta berdoa kepada Tuhan agar tidak mendapat laki-laki seperti dia.
Arkan bukan si pemerhati penampilan. Dia berpakaian biasa-biasa saja.
Arkan bahkan jauh dari kata taat agama. Hal yang paling penting di antara segalanya.
Lantas, apa yang membuat aku suka?
Lukanya.
Luka yang membuatnya menjadi sosok Arkan yang aku kenal. Arkan yang tidak disukai orang-orang, tetapi aku suka.
Yang memicunya menjadikan Rumah Singgah sebagai sahabat.
Yang membuatnya dapat bermain bersama anak-anak yang kehilangan orang tua.
Luka yang menuntunnya melatih di dojo, membantu mereka untuk memenangkan yang belum bisa dirinya raih, atau berpartisipasi dalam perlombaan yang belum sempat dirinya ikuti.
Luka yang menjadikan hatinya begitu teguh.
Aku suka bagaimana caranya menghadapi hidup yang mana luka tertanam dan berkembang dalam tubuhnya.
Hingga tiba pada saat dia akhirnya berusaha mengobati luka agar segera pergi dari hidupnya. Aku tetap suka, bahkan lebih suka lagi.
Namun, luka tak ingin pergi. Hingga Tuhan turun tangan, mengambil hidup Arkan agar luka tidak menyakitinya lebih parah lagi. Menjadikan akulah—kita—yang terluka.
Membenci luka? Tidak. Sebab, retisalya berarti luka dalam diri. Retisalya yang menjadikan Arkan ada. Jadi, jika ditanya bagaimana aku mendeskripsikan Arkan dalam satu kata, aku akan menjawab tegas bahwa Arkan itu; Luka.
Bagaimana bisa aku—kita—membenci luka, jika luka adalah Arkan?
Hari itu, Sabtu pagi. Ketika dua buah peluru mengakhiri luka dan hidup Arkan, aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Yang pasti, aku merasa hatiku remuk.
Kini, untuk Arkan yang telah damai dalam rumah baru. Meninggalkanku sendiri bersama rindu abadi juga sakitnya hati. Namun, tak apa. Aku—mencoba—mengerti. Menerima takdir dari Tuhan yang pasti terbaik.
Sudah diputuskan. Setelah menata nurani agar pedihnya tidak terlalu menguasai, di mana hari-hari sebelumnya telah ditemani rasa patah yang berat; Aku kembali.
Kembali bersama cerita yang masih akan membahas tentangmu. Meski sekarang bukan lagi mengisahkan keseharianmu, tetapi bagaimana mereka melewatkan waktu dengan bayang-bayangmu.
Bagaimana kehilangan sosokmu berujung sesal menyesakkan.
Bagaimana hari begitu aneh tanpa adamu.
Yang pasti, seperti apa hancurnya mereka sebab kepergianmu.
Bahkan, bagaimana mereka yang sangat berharap kamu ada. Bukan hanya dalam mimpi, tetapi kembali lagi di dunia nyata.
Tidak hanya mereka, aku juga.
Ada hal yang harus kalian tau. Lawan terberat Arkan bukan keluarga, bukan juga omongan negatif orang-orang. Lawan terberat Arkan adalah dirinya sendiri. Dari dulu dia sendirian untuk menghadapi semua hal yang menumpuk dikepalanya.
Dia harus melawan sendiri keinginan untuk segera pergi dari rumahnya, memilih bertahan, akhirnya apa yang terjadi? Dia capek sendiri ngeliat keluarga yang jujur saja dia butuhkan. Seorang remaja yang masih muda, gak munafik, Arkan memang masih ingin seperti yang lain—hidup dalam keluarga lengkap.
Dulu, dia juga sering ngelawan keinginannya untuk nyilet—walau sering gagal. Dampaknya? Dia bakalan kesiksa kalau gak nurutin nafsunya sehingga berakhir dengan minum obat tidur.
Arkan bahkan harus melawan keinginannya yang butuh perhatian dari orang lain. Dia simpen masalahnya sendiri. Akhirnya? Dia kewalahan sendiri.
Arkan kita ibaratkan balon, sedangkan gas adalah bentuk dari segala macam hal yang mengganjal di hatinya. Semakin menumpuk, pada akhirnya balon itu bakalan meledak. Berakhir Arkan yang hancur.
Udah dari lama juga Arkan pengen nyerah. Sekali lagi, dia harus melawan sendiri agar gak nurutin keinginan itu. Dan pastinya sama sekali gak mudah.
Sakitnya Arkan itu keluarga. Saat dia bertahan, apa yang kalian harapkan? Akhir yang bahagia? Enggak. Karna seikhlas apapun Arkan nerima dan maafin keluarganya, setiap berhadapan langsung rasa kecewa, marah, kesal, itu pasti akan selalu ada. Sekecil apapun pasti ada.
Seperti yang pernah aku bilang. Akhir yang terbaik buat Arkan bukanlah bersama mereka. Jadi, aku minta buat kamu yang masih tidak terima dengan akhir seperti itu bisa berhenti membaca di sini. Kalian akan kecewa, aku gak akan dan gak bisa ngidupin Arkan lagi. Gak akan bisa.
Sebelum kalian masuk lebih dalam. Aku juga masih mau nanya. Seandainya Arkan ada dan dia di hadapan kalian, kamu mau bilang apa? Sesimpel apapun kalimat itu, bahkan jika hanya dua kata, silahkan sampaikan.
[Jum'at, 1 Oktober 2021]
KAMU SEDANG MEMBACA
RETISALYA 2
Novela Juvenil⚠️Cerita ini bisa dibaca tanpa harus "mengikuti" RETISALYA yang pertama⚠️ Kata mereka, perginya di tengah jalan. Tiada pamit terlontar sebelum pulang. Meninggalkan orang-orang bersama kerinduan terbalut penyesalan. Waktu itu mentari siang menjadi sa...