Page 15: You Can't Buy Everything

5.3K 1K 437
                                    

Alo? Kangen ga?

Beberapa chapter terakhir turun bgt votenya. Agak lemes juga ni jadinya mau ngelanjut 😢😖

Coba page ini bisa balik 600 vote ga? Kalo bisa aku tembus aku langsung update secepat kilat wkwk let's do diisss! 💂

***Happy Reading***

Reynand sedang memperbaiki salah satu motor milik pelanggan ketika Haryo menepuk pundaknya. Pria itu berkata pelan seolah tak ingin didengar oleh karyawan lain.

“Ada yang nyariin lo noh.”

“Vania? Cepet banget. Padahal gue bilang sorean aja,” sahut Reynand setelah melihat jam tangannya yang cukup mahal. Cowok itu memang tak pernah melepasnya meski sedang bekerja.

“Bukan. Ini bapak-bapak pejabat gitu, mukanya sengak banget. Emang ada apa sih? Lo nabrak mobil dia?”

Reynand menggeleng karena merasa tidak pernah terlibat dalam kecelakaan lalu lintas apa pun sebelumnya. “Nggak ada. Di mana dia sekarang?”

“Di depan, di ruang tunggu customers.”

“Oh oke, gue ke sana bentar. Thanks, Bang.”

“Yoi.”

Reynand mencuci tangan sebentar lalu menemui orang yang mencarinya di depan. Pria itu berdiri membelakangi Reynand, terlihat sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya. Reynand pun berdeham, lalu pria itu menoleh.

“Nanti kita sambung lagi, Tirta. Om sedang mengurus hal kecil. Ya, sampai jumpa di kantor papamu.”

“Om Marcel.” Reynand tersenyum tipis sekali, dan Marcellino membalasnya dengan dengkusan tidak suka.

Ini bukan kali pertama mereka bertemu, melainkan sudah yang ketiga kalinya. Pertama, saat Reynand dan Vania datang ke kantor Marcellino— awalnya pria itu pura-pura setuju, hingga Marcellino menemui Reynand tanpa sepengetahuan Vania, dan ketiga adalah hari ini… dengan tujuan yang masih sama.

“Bagaimana, Reynand? Kamu terima tawaran beasiswa dari saya? Harvard adalah impian banyak orang, kamu bisa dengan mudah—”

“Jawaban saya tetap sama, saya nggak akan melepaskan Vania,” sahut Reynand tenang. “Dan mengenai Harvard, saya yakin bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan Om sekalipun.”

“Sombong sekali. Apa susahnya meninggalkan Vania, toh kamu juga tidak akan rugi.”

“Saya bukan tipe orang yang suka mengingkari janji. Jadi, mau bagaimana pun keadaannya, saya nggak akan meninggalkan Vania.”

Marcellino terkekeh sinis. “Anak muda memang selalu seperti ini. Saya dulu juga pernah di posisi kamu, punya semangat dan ambisi yang tinggi, tapi pada akhirnya keadaan akan mengalahkan keyakinan itu juga. Kamu masih terlalu muda untuk mengerti kerasnya kehidupan.”

“Ya, saya memang tidak memiliki pengalaman sebanyak Om. Namun satu hal yang harus Om tau… bahwa kita berbeda, saya bukanlah Om Marcell yang mungkin pernah menyerah karena keadaan. Saya akan mempertahankan Vania meski nyawa taruhannya.”

“Wow, percaya diri sekali. Saya hampir saja terpukau. Tapi jangan senang dulu, terkadang kekuatan terbesarmu bisa menjadi kelemahan dan akhirnya membuat kamu kalah. Optimis boleh, tapi kamu harus ingat bahwa saya adalah ayah Vania. Saya yang paling berhak mengatur hidupnya.”

“Maaf kalau lancang, Om. Tapi menurut saya hanya Vania yang paling berhak atas hidupnya. Hanya dia yang boleh menentukan pilihan hidupnya, karena anak bukanlah robot yang selalu bisa diatur untuk memenuhi ekspektasi dan keinginan orang tua.”

Sweet Karma (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang