Jeongmal Mianhae

608 190 52
                                    

"Lalu jika kita menikah, bagaimana dengan kuliahmu? Percuma saja 'kan kalau misal kita menikah dan setelah itu kau tetap kuliah di Mesir, aku tetap tidak bisa bersamamu untuk menjagamu karena aku sendiri tidak bisa meninggalkan Seoul karena pekerjaanku," komentar Hyun Jae setelah usai dari terkejutnya.

Aduh, benar juga perkataan Hyun Jae, Haura baru tersadar kini, ia pun memilih diam karena tak bisa menjawab apa-apa untuk berdalih.

Di tempatnya, Hyun Jae memijat pelipisnya yang tetiba terasa nyut-nyutan.

"Kalau begitu aku bisa berkuliah di Seoul saja, di SNU atau Ewha, itu juga tidak masalah bagiku." Rupanya Haura membuat solusinya satu tadi ini menjadi lebih terperinci.

"Mwo?" Hyun Jae membulatkan kedua matanya. Jawaban Haura sungguh di luar dugaannya lagi; bisa-bisanya Haura menyarankan memilih memutus beasiswanya ke Mesir begitu saja untuk ... hanya agar bisa tetap bersama dirinya? Aih, cinta benar-benar ya ... bisa membuat seseorang keras kepala dan lemah. Eh tunggu, jadi bukankah ini menandakan cinta Haura padanya ini begitu besar? Tetiba hatinya terasa hangat karena ini. Memijat pelipisnya lagi karena situasinya semakin rumit saja.

"Mumpung kau di sini, kau bisa langsung bicara baik-baik pada Mama-ku." Tanpa ragu, Haura lebih dalam memilihkan saran pada Hyun Jae. Entah apa yang merasukinya kini karena menjadi sepercaya diri sekali.

Tidak menyahut, Hyun Jae lebih keras memijat pelipisnya. Pikirannya sungguh lebih kacau dibandingkan kemungkinan atensi awal yang ia pikir Haura akan segera menurut dengan perpisahan yang diputuskan, lalu ia patah mendalam setelahnya, kini malah menikuk sangat tajam dengan Haura membuat saran mengagumkan yang jujur saja sekarang ini sulit untuk dirinya tolak. Aih, bagaimanapun menikah dengan Haura adalah impian terbesarnya, tetapi?

"Mama-ku pasti ju--"

"Haura, hentikan omongan ngelanturmu!" sela Hyun Jae dengan menjatuhkan sebelah tangannya yang sedari tadi memijat pelipis ini ke meja.

Haura terbungkam. Keningnya mengerut sembari memerhatikan muka Hyun Jae yang tampak emosi.

"Kau kenapa? Bukankah solusiku ini lebih baik daripada harus memutuskan pertemanan?"

Hyun Jae meneguk ludahnya.

"Aku sudah tidak lagi ingin menikah denganmu, Haura," dustanya.

Haura terbungkam. Ia tidak percaya dengan omongan lelaki oriental di hadapannya ini.

"Aku tidak berbohong, Haura. Aku sungguh tidak lagi ingin menikah denganmu," tegas Hyun Jae, sisi lain hatinya berteriak bahwa itu bohong.

Haura masih membisu. Pikirannya semrawutan sudah. Menatap putus asa Hyun Jae.

"Tapi kenapa?" gumamnya dengan lirih, nyaris tak terdengar oleh Hyun Jae.

Tidak langsung memberi alasan, Hyun Jae menunduk sejemang, dadanya sudah diliputi oleh rasa patah, bukan patah karena tidak bisa bersatu bersama Haura, melainkan patah karena tahu kini bahwa Haura pastilah sangat kecewa dengan omongannya barusan.

"Kenapa aku tidak lagi ingin menikah denganmu? Alasannya bukan semata-mata karena wanita bedebah itu, Haura. Melainkan, ini juga perkara aku bukanlah lelaki yang pantas bersanding denganmu," balas Hyun Jae setelah mengangkat dagunya.

"Aku baru menjadi Muslim kemarin, sedangkan kau sudah sejak dari lahir, Haura. Aku membaca al-Quran saja belum lancar, tidak sepertimu yang sudah sangat baik dalam hal ini, sedangakan kau bahkan hendak mengahafalkan al-Quran pada Syekh terbaik di sana. Ilmu fiqihku juga masih sebatas--"

"Jangan membanding-bandingkan lagi. Menjadi Muslim baru kemarin atau sejak lahir, itu bukan takaran seseorang lebih baik di hadapan-Nya. Pun, jangan membandingkan tentang berproses itu, kalaupun memang kau belum lancar membaca al-Quran, lalu apa yang harus dipermasalahkan, toh kau masih terus belajar lagi dan lagi, suatu saat pada akhirnya kau bisa sampai ke titik terbaiknya yang bisa saja malah melebihi kemampuanku sekarang," potong Haura. Ia cukup emosi dengan omongan Hyun Jae yang membanding-bandingkan untuk menjelekkan dirinya sendiri.

Itu jawaban yang mengangumkan, tetapi tetap saja ia merasa tak pantas untuk Haura sekalipun egoisnya adalah keterbalikannya.

"Maaf, aku tetap tidak bisa, Haura. Mari kita saling melepaskan sebagai solusi terbaiknya. Setelahnya kau bisa dengan leluasa mengejar impianmu dengan belajar pada Syekh-syekh terbaik di Mesir. Selepasnya, kau akan bertemu dengan seorang pria yang ilmu agamanya bagus dan tentunya soleh dan pria ini akan menjadi teman hidupmu," ungkap Hyun Jae, membuat keputusan sepihak, dadanya penuh sesak.

Haura tetap membisu. Kepalanya menggeleng pelan.

***

"Dulu kita juga tak saling mengenal dan semuanya baik-baik saja, jadi setelah ini semuanya juga akan sama ... baik-baik saja, Haura. Terima kasih untuk semuanya, Haura. Bertemu denganmu dan bisa mengenalmu sekalipun harus berakhir di sini, itu tetaplah menjadi anugerah terbaik dalam hidupanku. Sekali lagi, aku minta maaf, Haura ...."

Ucapan Hyun Jae di akhir pertemuan di hari ini masih terngiang di kepala Haura. Gadis ini masih bergeming di tempat duduknya sembari menatap punggung Hyun Jae yang tengah berjalan keluar dari Toko Numani.

Tubuh jangkung yang mengenakan turtleneck dilapisi kemeja flanel itu sudah berada di ambang pintu. Hati Haura berdegup kencang menyimaknya, berharap kalau lelaki itu mau menolehkan wajah ke arahnya, lalu berbalik dan melangkah lebar-lebar ke arahnya, duduk kembali di tempat duduk yang sudah kosong itu, membuka suara untuk meminta maaf kalau barusan semua itu hanyalah lelucon, atau kalau tidak ... lelaki itu berubah pikiran dan memutuskan untuk bersamanya.

Namun, semua itu hanya niskala yang bersemanyam dalam ilusi, nyatanya Hyun Jae sungguh pergi begitu saja, berlari menerjang gerimis dan segera memasuki mobil SUV hitam yang terparkir di pelataran toko, lantas mobil itu melesat pergi.

Dada Haura semakin sesak. Ia bertanya pada senyap, kenapa jadi berakhir kayak gini?

Sekalipun Haura maklum tentang alasan Hyun Jae untuk menjauhkannya dari petaka, rasa kecewa tetap ada. Yaitu sebuah rasa kecewa karena Hyun Jae bersikap terlalu takut pada ancaman itu yang bisa jadi jika ditentangpun tak akan pernah terjadi, sekedar gertakan saja. Haura kecewa pada Hyun Jae karena sikap lelaki itu yang terlalu takut, hingga gegabah melupakan adanya perlindungan dan pertolongan-Nya jika pun ancaman itu sungguh benar terjadi. Haura sungguh kecewa, tetapi ia bisa apa?

Haura menghempaskan napasnya. Tidak terasa, kedua matanya ini sudah berkaca-kaca, menyebalkan sekali. Ini memalukan, sejak kapan seorang Haura menjadi cengeng karena baru saja dipatahkan hatinya oleh lelaki? Aduh, sangat tidak keren!

Cepat-cepat Haura menghilangkan genangan air mata itu, mengucek-ngeceknya dengan punggung tangan. Lantas sesaat ke depan, 4 orang mengunjungi toko, ia memilih beringsut menyambut mereka, memberikan senyum selamat datang terbaik untuk mereka.

Sedangkan, setelah sampai ke kamar hotel,  Hyun Jae segera merebahkan tubuhnya secara asal ke kasur. Menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong yang mana justru menemukan wajah sendu Haura di sana.

Dada Hyun Jae berdenyut ngilu. Pikirannya sungguh semrawutan. Menyampaikan pesan untuk Haura lewat senyap, "Mianhae. Jeongmal mianhae ...."

________________

Translate:
Jeongmal mianhae= aku sungguh minta maaf


Syahadat di Langit SeoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang