Setelah Saling Suka, Lalu Apa?

726 211 67
                                    

Sebenarnya apa yang Haura sukai dari sosok Hyun Jae? Apakah karena lelaki itu tampan? Ataukah karena kaya? Atau karena baik dan perhatian padanya? Atau karena apa?

Haura mengaduh pada senyap bahwa ia tidak tahu jawaban pertanyaan ini. Cinta itu ... datang begitu saja bahkan sampai ia sendiri tak tahu pastinya kapan pertama kali cinta itu menyapa. Ia akui jika memang dirinya bodoh dalam percintaan sampai-sampai telat menyadari bahwa dirinya sedang jatuh cinta.

Jika di tilik dari tampan, dari kecil bahkan ia sudah suka melihat lelaki tampan sekalipun itu kebanyakan dari film-film. Itu sih pemandangan yang menyegarkan mata, ia akui saja satu ini, dalam ilmu psikologi juga melihat wajah tampan itu katanya baik untuk kesehatan otak--ah, entahlah itu, kenapa bisa begitu. Tapi itu bukan poinnya. Poinnya adalah apakah ia menyukai Hyun Jae karena ketampanannya?

Haura ragu-ragu menjawab iya, tapi ia juga akui kalau suka saja sih melihat wajah tampan Si Oppa, apalagi kalau sedang tersenyum dengan lukisan lesung pipit di pipi, ih itu manis.

Haura mengaduh lagi dalam senyap. Ia memiringkan tubuhnya. Kedua matanya pegal juga melihat langit-langit kamar rawat inapnya sedari tadi.

Seutas senyum singgah di bibir Haura. Lalu sesaat ke depan ia memaksa untuk cemberut. Mengutuki diri kenapa bisa tetiba tersenyum barusan itu saat membayangkan Si Oppa.

Eh? Tapi dari tadi kok Si Oppa mulu sih sebutnya, bukan Ahjussi?

Haura menghempaskan napasnya kasar. Sisi hatinya ngeledek benar barusan itu.

Itu nggak penting tahu! Terserah aku mau sebut dia apa. Sebut dia Crush, Ayang, atau apalah yang alay pun sah-sah aja selagi sekedar dalam hati. Bahkan sebut dia genderwo pun sah-sah aja, blwee! bentaknya pada sisi hatinya itu.

Bibir Haura mengerucut. Ia sebal kenapa hatinya jadi berdialog aneh seperti ini. Mana ngawur sampai ke genderwo pula.

"Makan, Ra. Setelah itu minum obat."

Haura terlonjak kaget saat mendengar suara Mama-nya yang tiba-tiba itu setelah membuka korden, membawa makan malam untuknya.

"Iya, Ma," sahut Haura. Beringsut untuk duduk.

"Ini air putih yang udah dideresin Quran 30 juz. Sebelum berangkat ke sini, Mama sowan dulu ke Abah Kiyai Dullah, lalu alhamdulillah Mama diberi air berkah ini ama beliau, buatmu," kata Mama setelah barusan pergi ke ruang keluarga dan kembali dengan membawa sebotol air putih.

"Iya, Ma," jawabku singkat setelah menelan sesuap nasi.

"Ngomong-ngomong, udah ada perkembangan nggak ama Si Gus?" tanya Mama Ainun, di sela Haura sudah menghabiskan separuh makan malamnya.

"Eh, perkembangan apa, Ma?" Haura pura-pura tidak paham maksud Mama Ainun.

"Ya ta'aruf-nya. Kalian berdua udah ngerasa cocok apa nggak?" jawab Mama Ainun yang duduk di kursi samping keranjang Haura ini.

"Oh itu. Ya gitu deh." Sengaja Haura menjawab ambigu. Ya karena memang masih ambigu hubungan mereka berdua. Sampai sini sih masih cocok-cocok saja. Yang tidak cocok ya itu .... hatinya yang sudah memilih Si Oppa.

"Ya gitu deh apa?" Mama Ainun meminta penjelasan lebih.

Haura tetap bergeming menatap Mama Ainun.

Syahadat di Langit SeoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang